MAKALAH
MADZHAB ETIKA
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah
: Ilmu Akhlak
Dosen Pengampu
:
Muhammad Ghufron Dimyati, M.S.I

Disusun oleh :
ALFI
NUR RIDLO KH (2021 111 233)
ARISTA
NUR AVIANA (2021 111 234)
ANA
KHOIRUNIFAH (2021 111 235)
NUR
MAVINA
(2021 111 309)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam sejarah filsafat terdapat banyak system etika,
artinya, banyak uraian sistematis yang berbeda-beda tentang hakikat moralitas
dan peranannya dalam hidup manusia. Dalam bab ini kami tidak bermaksut membahas
seluruh sejarah pemikiran moral. Kami sengaja membatasi diri dengan hanya
memperkenalkan beberapa pandangan tentang madzhab etika yang pernah di
kemukakan dan berpengaruh terus sampai sekarang.
Madzhab etika di pandang sebagai suatu ilmu yang dapat
dipakai untuk menanggapi atau menilai tentang pandangan hidup semua orang.
Didalam makalah ini, pemakalah akan mencoba menjelaskan tema
“MADZHAB ETIKA”.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
HEDONISME
A.1
Pengertian Hedonisme
Hedonisme adalah suatu sikap atau etika yang lebih
mengutamakan keduniawian dari pada urusan akhirat. Beberapa ahli-ahli filsafat
menyelidiki ukuran baik dan buruk secara ilmu pengetahuan, diantara mereka
berpendapat bahwa ukuran itu adalah bahagia. Bahagia itu ialah tujuan akhir
dari hidup manusia. Mereka mengartikan bahagia ialah kelezatan dan sepi dari
kepedihan. Maka perbuatan yang mengandung kebahagiaan itu baik, sebaliknya yang
mengandung pedih itu buruk.
Madzhab (paham) Hedonisme itu tidak berkata: bahwa manusia
itu hendaknya mencari kebahagiaan saja karena tiap-tiap perbuatan itu tidak
lepas dari kebahagiaan, bahkan berkata hendaklah manusia itu mencari
sebesar-besar kebahagiaan, dan apabila ia disuruh memilih diantara perbuatan,
wajib ia memilih yang paling besar kebahagiaannya.
Mereka yang mengikuti paham ini dibagi menjadi dua:
a.
Paham egoistik hedonisme, yaitu
paham yang mengatakan bahwa perbuatan itu ialah kebahagiaan diri orang yang
melakukan perbuatan.
b.
Universalistik Hedonisme, yaitu
paham yang mengatakan bahwa perbuatan itu ialah kebahagiaan bagi semua orang.
Madzhab Hedonisme ini menyatakan bahwa manusia itu hendaknya
mencari sebesar-besar kebahagiaan untuk dirinya dan wajib menghadapkan segala
perbuatannya kearah menghasilkan kebahagiaan.[1]
Bagi paham ini, bila seseorang bimbang diantara dua
perbuatan atau bimbang terhadap suatu perbuatan ditinggalkan atau
dilakukannya,maka hendaknya ia menghitung-hitung banyak sedikitnya kebahagiaan
dan kepedihan untuk dirinya dan mempertimbangkan antara keduanya. Kalau berat
kebahagiaannya maka itu boleh dilakukan, kalau berat kepedihannya maka itu
buruk,dan kalau sama antara kebahagiaan dan kepedihannya maka ia bebas untuk
memilihnya.
Pemimpin paham Hedonisme ini yang paling besar adalah
Epicurus.
Beberapa pendapat Epicurus tentang Hedonisme antara lain,
yaitu:
a.
berpendapat bahwa kebahagiaan itu
ialah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup kecuali kebahagiaan dan
tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlak itu tak lain adalah berbuat
untuk menghasilkan kebahagiaan.
b.
Berpendapat bahwa kebahagiaan akal
dan rohani itu lebih penting dari kebahagiaan badan.
c.
Kebahagiaan itu tidak tergantung
pada banyaknya kebutuhan dan kecenderungan.
d.
Perbuatan-perbuatan itu tidak diukur
dengan kebahagiaan dan kepedihan yang terbatas waktunya.
Seorang yang berakal dapat menolak kebahagiaan seketika
untuk menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar pada masa yang akan datang. Dan
oleh karenanya lebih mengutamakan kebahagiaan akal dari pada kebahagiaan
jasmani. Dengan pendapat yang demikian ini, dikatakan kebahagiaan yang terbesar
adalah kebahagiaan yang dilakukan untuk kebahagiaan rohani.
Didalam masyarakat manusia disegala zaman, terdapat golongan
yang bertindak dalam hidupnya mengikuti paham ini, meskipun mereka belum pernah
mendengar atau mengetahui sedikitpun tentang paham itu. Hal ini dapat kita lihat
pada segala tingkatan manusia, kaum hartawan,pedagang,kaum buruh,pegawai dan
sebagainya. Mereka tidak melihat dalam segala perbuatannya kecuali yang
mengenai kepentingan dirinya. Sedang kepada orang lain seperti melihat barang
yang dipergunakan untuk kepentingannya.
A.2 Keburukan Madzhab Hedonisme
Ada beberapa keburukan dari madzhab Hedonisme, yaitu
diantaranya:
a.
Apabila kebahagiaan diri itu
dijadikan ukuran, maka sukar sekali memandang laku baik kepada orang lain
itu sebagai sifat utama.
b.
Tidak ada arti utama dan rendah,
baik dan buruk kecuali bila diperhatikan hubungan diantara manusia satu dan
yang lainnya, atau dengan kata lain bila perseorangan itu sebagai anggota
masyarakat.
c.
Paham ini memandang rendah kepada
orang-orang yang mengorbankan kebahagiaan serta hidupnya untuk kepentingan
orang lain.
d.
Pengikut paham ini akan menjadi
pribadi yang angkuh atau sombong.
Hakekat kesenangan inderawi ini dimiliki oleh manusia dan
binatang. Oleh karena itu kesenangan inderawi tidak dapat menyampaikan manusia
kepada aktifitas yang mengarah pada perolehan kerahmatan atau kesempurnaan
dirinya. Penelitian yang seksama mengenai kesenangan ini menyatakan bahwa pada
hakikatnya kesenangan tersebut akan diperoleh melalui usaha diri dari
penderitaan-penderitaan manusia.[4]
Para Hedonis mempunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan
mereka berfikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi. Akan tetapi,
kesenangan tidak merupakan suatu perasaan yang subyektif belaka tanpa acuan
obyektif apapun. Sebenarnya kesenangan adalah pantulan subyektif dari sesuatu
yang obyektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya
kita merasa senang karena memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik. Jadi,
kebaikan dari apa yang menjadi obyek kesenangan mendahului dan diandaikan oleh
kesenangan itu. Dalam hal ini James Rachels memberi sebuah contoh yang jelas[5]
andaikan saja saya mempunyai seorang sahabat. Saya sekali dengan dia,
karena berulang kali saya mengalami keramahan,perhatian dan kebaikan hatinya
terhadap saya. Saya pikir, belum pernah saya mempunyai sahabat sebaik dia.
Jika dipikirkan secara konsekuen, Hedonisme mengandung suatu
egoisme, karena hanya memperhatikan kepentingan dirinya saja. Hedonism atau
pandangan yang menyamakan “Baik secara moral” dengan “Kesenangan” tidak saja
merupakan suatu pandangan pada permulaan kehidupan manusia, tetapi dikemudian
hari sering kembali dalam berbagai variasi kehidupan.
B.
EUDEMONISME
B.1
Pengertian Eudemonisme
Kata Eudemonisme berasal dari kata Yunani “eudaimonia” yang
secara harfiah berarti: mempunyai roh pengawal (demon) yang baik, artinya mujur
dan beruntung. Dengan demikian semila pertama-tama mengacu kepada keadaan
lahiriah. Kemudian dititik beratkan pada suasana hatinya dan dengan demikian
mempunyai arti “bahagia” dalam arti hidup berbahagia atatu kebahagiaan. Kata
ini menggambarkan perasaan senang terhadap diri sendiri maupun terhadap
lingkungan, sebagai akibat pengetahuan mengenai penyelarasan diri. Orang yang
telah mencapai tingkatan Eudemonia mempunyai keinsyafan akan kepuasan yang
sempurna tidak hanya secara jasmani, melainkan juga secara rohani.
Hal yang disebut terakhir inilah yang membedakan eudemonisme
dari hedonism, meskipun sudah jelas batas diantara kedua macam system ini
saling bertindihan. Seperti halnya hedonisme sesungguhnya eudemonisme hendak
bertolak dari pengalamn dan berpendapat bahwa menurut kodratnya manusia
mengusahakan kebahagiaan, serta memandang hal tersebut baik.
Menurut eudemonisme tujuan perbuatan manusia adalah selalu
hendak mencapai kebahagiaan dan apa yang oleh manusia di pandang demikian, dan
seharusnya memang demikian halnya. Dengan demikian paham ini menyatakan
kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi.
Paham ini terjelma dalam sistem-sistem yang telah lanjut
perkembanganya, namun juga sebagai keyakinan bahwa manusia hidup di dunia untuk
berbahagia. Paham ini dalam kenyataanya di anut oleh banyak sekali
orang.sesungguhnya hal tersebut tidaklah mengherankan, karena di dalam diri
manusia terkandung hasrat untuk bahagia yang menentukan sebagian besar
perbuatan-perbuatanya.
Di samping itu adalah suatu kenyataan bahwa mereka yang
mencari kebahagiaan justru tidak menemukanya. Barang siapa berbuat kebaikan
agar berbahagia, berarti kehilangan kebahagiaan.perbuatan yang baik seakan-akan
dengan sendirinya membawa serta kebahagiaan sebagai akibat, namun kebahagiaan
tidak dapat secara sengaja di jadikan tujuan bagi perbuatanya. Kebahagiaan
merupakan akibat dan tidak dapat menjadi tujuan. Kebahagiaan merupakan suatu
anugerah, suatu “rahmat”. Jika manusia mengusahakan sesuatu dan berusaha untuk
memilikinya, maka ia melakukanya karena hal itu di pandangnya berharga atau
sebagai kebaikan. Dalam hal ini terbukti lagi bahwa kebahagiaan dapat merupakan
akibat usaha tersebut, namun tidak mesti demikian, dan setidak-tidaknya tidak
dapat dijadikan tujuan[6].
Akal sealu mendorong manusia agar mencari kebahagiaan bagi
diri sendiri. Masih menjadi pertanyaan, apakah ia dapat membahagiakan orang
lain? Kemungkinan yang paling besar ialah ia berhasil mendapatkanya bagi diri
sendiri, dan kiranya dapat mengerti mengapa usaha tersebut dimulai dari
sendiri, yang dalam hal ini mungkin selkali tidak dapat diterapkannya terhadap
orang lain. Kebahagiaan orang lain dapat juga ditingkatkan, karena kebahagiaan
kita akan bertambah apabila bersifat murni.
Di samping itu orang lain tidak dapat secara langsung
dibahagiakan. Paling-paling kita hanya dapat memberikan kepadanya sesuatu yang
dapat emberikan kepadanya sesuatu yang dapat menjadikannya bahagia. Dan
biasanya sudah merupakan hal yang baik sekali apabila ia dapat menghilangkan
penghalang-penghalang terhadap kebahagiaan orang tersebut.
B.2 Keburukan Eudemonisme
Keburukan-keburukan etik yang dapat di ajukan terhadap
eudemonisme, yang sebagian besar sejenis dengan keburukan-keburukan terhadap
hedonism.
Keburukan-keburukan tersebut antara lain:
a.
Eudemonisme bertentangan dengan pokok
kesusilaan.
b.
Paham eudemonisme hanya mengenal
orang seorang.
c.
Dalam usaha memperoleh kebahagiaan ,
hendak kebenaran diri sendiri.
C.
UTILISME
C.1
Pengertian Utilisme
Sebuah bentuk lain dari Eudemonisme ialah utilisme atau
dalam bahasa inggrisnya disebut “utilitarianism”. Nama ini dijabarkan dari kata
latin “utilis”, yang berarti manfaat. Utilisme mengatakan bahwa ciri pengenal
kesusilaan ialah manfaat suatu perbuatan, suatu perbuatan dikatakan baik, jika
membawa manfaat, dikatakan buruk, jika menimbulkan mudarat. Utilisme tampil
sebagai sistem etika yang telah berkembang,bahkan juga sebagai pendirian yang
agak bersahaja mengenai hidup. Paham ini mengatakan bahwa orang baik ialah
orang yang membawa manfaat, dan yang dimaksutkannya ialah agar setiap orang
menjadikan dirinya membawa manfaat yang sebesar-besarnya. Tetapi dalam
kenyataannya sesuatu yang bermanfaat tidak pernah berdiri sendiri, sesuatu hal
senantiasa bermanfaat bagi suatu hal yang lain. Umpamanya, suatu obat
bermanfaat untuk memulihkan kesehatan.[7]
Dengan demikian titik tolak utilisme tidaklah menguntungkan,
karena masih sedikit atau sama sekali tidak mengatakan bila manakah perbuatan
yang baik ditinjau dari segi kesusilaan disebut perbuatan yang bermanfaat?
Dengan segera timbul petanyaan, dimanakah letak faedah suatu perbuatan yang
baik, atau hal apakah suatu perbuatan dikatakan baik, atau dengan kata lain
lagi: hal-hal positif manakah yang ditimbulkannya? Terhadap pertanyaan ini
utilisme memberikan jawaban, bahwa perbuatan yang baik ditinjau dari segi
kesusilaan menimbulkan kebahagiaan, yang biasanya dipahamkan sebagai
kenikmatan, sehingga utilisme akhirnya dipersamakan dengan eudemonisme dan
hedonism.[8]
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa suatu hal
dikatakan bermanfaat, jika memberikan kebaikan kepada kita atau yang
menghindarkan kita dari keburukan. Selanjutnya kebaikan ialah sesuatu yang
membuat kita bahagia, sedangkan keburukan ialah sesuatu yang menyengsarakan
kita. Lebih lanjut lagi Benthammempersamakan kebahagiaan dengan kenikmatan, dan
kesengsaraan dengan kepedihan. Secara demikian ia sampai pada apa yang bmenurut
pendapatnya merupakan factor pengalaman yang pokok, yaitu bahwa manusia
mengejar kenikmatan dan menghindari kepedihan. Itulah yang secara kodrati
dilakukan oleh manusia dan itulah yang baik bagi manusia untuk dikerjakan.
Bentham mengandaikan manusia mengetahui apa yang menimbulkan
kepedihan kepadanya dan manusia diandaikan juga dapat menimbang jumlah
kenikmatan serta kepedihan, yang akan timbul dari perbuatan-perbuatannya. Ia
benar-benar yakin, bahwa manusia dengan akalnya dapat memperhitungkan
akibat-akibat yang didukanya akan timbul dari perbuatannya, berupa kenikmatan
atau kepedihan, dan bahkan secara cukup cermat dapat menetapkan jumlah
kenikmatan serta kepedihan tersebut.
Sistem yang disusun oleh Bentham ini sangat individualistic,
namun ia juga menghendaki agar dalam mempertimbangkan akibat-akibat perbuatan
manusia juga memperhatikan sesame manusia. Semula manusia hanya memperhatikan
kepentingannya sendiri, artinya sekedar memperhatikan kenikmatan pribadinya.
Tetapi dalam kenyataannya kepentingan seseorang mudah berbenturan dengan
kepentingan orang lain, sehingga merugiakan kepentingan salah seorang atau
keduanya. Karena itu hendaknya diusahakan agar kepentingan-kepentingan
perorangan diseimbangkan sejauh mungkin yang satu dengan yang lain.
Dengan demikian usaha harus diarahkan untuk meningkatkan
kebahagiaan sebanyak mungkin manusia, dan seyogyanya kebahagiaan segenap
manusia. Untuk keperluan itu lembaga-lembaga serta hukum-hukum harus begitu
rupa keadaannya sehingga dapat menyesuaikan sebaik-baiknya kebahagiaan
masing-masing orang dengan kebahagiaan keseluruhannya. Disamping itu pendidikan
serta pendapat umum harus mengusahakan agar orang seorang dapat menumbuhkan
kebahagiaan keseluruhannya dengan kebahagiaan pribadinya, sehingga dorongan
untuk memajukan kepentingan umum dapat menjadi motif yang berlaku umum bagi
masing-masing orang.
C.2 Keburukan-Keburukan utilisme
Keburukan-keburukan terhadap eudemonisme dan hedonisme
diatas, sudah tentu berlaku juga terhadap utilisme. Tetapi ada dua hal yang
perlu mendapatkan perhatian. Pertama menyangkut perbedaan kualitas yang menurut
Mill melekat pada berbagai kenikmatan. Telah dikatakan bahwa Mill tidak
mengatakan ukura apa yang dipakai untuk membedakan kualitas tadi. Jika
kenikmatan merupakan perasaan puas, maka dapatlah dikatakan bahwa kwnikmatan
yang memuaskan perasaan secara lebih dalam serta lebih mulia dibandingkan
dengan kenikmatan yang lain, yaitu perasaan yang banyak hubungannya dengan
pokok eksistensi kita sebagai manusia.
Kedua, yang menonjol dalam pendirian Mill ialah adanya
peralihan dari utilisme perorangan kepada utilisme sosial. Yang menjadi masalah
ialah bagaimana caranya manusia dapat menjumbuhkan kebahagiaan orang lain
dengan kebahagiaan diri sendiri. Dalam hal ini Mill mendasarkan diri pada
perasaan sosial yang menurut kodratnya terdapat dalam diri manusia yang jika
diselidiki lebih dalam merupakan campuran antara rasa simpati kodrati dengan
keinsyafan akan kepentingan diri sendiri yang dipahami secara baik. Yang
pertama menyebabkan kita menjadikan kehidupan orang lain sebagai kehidupan kita
sendiri, yang menyebabkan kita menginsyafi bahwa pada akhirnya kepentingan kita
sendiri dimanfaatkan bagi orang lain.
Kiranya jelas, bahwa perasaan kodrati yang demikian itu
seandaenya ada, tidak dapat merupakan dasar yang kuat bagi moral yang menuntut
tiadanya sikap mementingkan diri sendiri yang sangat besar. Bagaimanapun
keburukan-keburukan besar terhadap utilisme, seperti yang telah dikatakan,
bahwa pengertian bermanfaat tidak cocok untuk dipakai sebagai dasar menyusun
etika, karena sesuatu hal tidak pernah bermanfaat ditinjau secara tersendiri,
melainkan yang bermanfaat selalu merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan.[9]
D.
VITALISME
D.1
Pengertian Vitalisme
Bentuk terakhir naturalisme yang kini kita bicarakan
ialah vitalisme. Istilah ini dijabarkan dari kata latin “vita”, yang berarti
kehidupan. Maka istilah tadi mengacu kepada suatu etika yang memandang
kehidupan sebagai kebaikan tertinggi, yang mengajarkan bahwa perilaku yang baik
ialah perilaku yang baik ialah perilaku yang mengurangi bahkan merusak daya
hidup. Maka usaha setiap manusia seharusnya di tujukan agar ia dapat hidup dan
berkehendak untuk hidup serta melenyapkan hal-hal yang merintangi kemajuan
serta perkembangan kehidupan. Karena kehidupan bersifat esa serta merembesi
segenap makhluk hidup sebagai arus kehidupan tunggal, maka di samping apa yang
di sebut di atas, manusia juga mempunyai kewajiban menghormati serta
meningkatkan daya hidup di manapun terdapat makhluk hidup, dan sekuat mungkin
melawan maut. Etika semacam ini mengandaikan manusia dapat menempatkan diri di
luar arus kehidupan serta dapat mempengaruhinya, baik secara positif maupun
secara negatif.
Selain itu di andaikan bahwa manusia mempunyai kecenderungan
buruk yang tak dapat dielakan, yaitu mempengaruhi kehidupan secara negatif, dan
dengan demikian tidak mengabdi pada kehidupan, melainkan kepada kematian.
Berarti bahwa manusia berbeda halnya dengan alam tumbuhan serta hewan, tidaklah
hidup secara tidak sadar dan secara langsung, melainkan membuat jarak antara
kehidupan dengan diri sendiri, yang menyebabkan ia dapat menguasai kehidupan.
Meskipun pada dasarnya dapat menggunakan kekuasaan ini secara menguntungkan
bagi kehidupan, namun dalam kenyataan umumnya ia terpaksa memakainya secara
merugikan kehidupan.
Dengan demikian kiranya akan lebih baik jadinya bila tidak
terdapat jarak antara manusia dengan kehidupan. Maka besar sekali
kemungkinannya bahwa keburukan di pandang sebagai akibat dari keberadaan
manusia di luar kehidupan, bersatu dengan kehidupan dan semata-mata hidup serta
dapat bersetiakawan denga segala sesuatu yang hidup.
Vitalisme yang tidak hanya terdapat di bidang etika,
melainkan sering berkembang menjadi sistem kefilsafatan yang lengkap dalam hal
ini di sebut “ filsafat kehidupan” memperoleh banyak penganut, terutama pada
jaman baru. Kita teringat pada Rousseau yang hidup pada abad ke delapan belas
yang bersemboyan “ kembali ke alam kodrat”, juga kepada Albert Schweitzer yang
hidup pada abad ke dua puluh yang mengatakan bahwa sikap menghormati kehidupan
merupakan azaz pokok perbuatan susila, begitu pula kepada Dirk Couster, yang
pada tahun 1913 dalam kitabnya “Marginalia” menulis: garis tebal yang membagi
manusia bukanlah memisahkan baik dan buruk, yang baik dari yang buruk,
melainkan memilahkan yang hidup dari yang tidak hidup. Garis batas tersebut
tertentang antara mereka yang dapat membenci serta tidak dapat mengasihi,
antara mereka yang dapat marah serta dapat member maaf dengan mereka yang tidak
dapat marah namaun tidak dapat member maaf, antara mereka yang berbuat
jahat serta dapat kebajikan dengan mereka yang tidak dapat berbuat buruk, namun
juga tidak dapat berbuat baik.
D.2 Keburukan-keburukan vitalisme.
Tidaklah sukar untuk mengajukan keburukan-keburukan terhadap
vitalisme. Dapat dikatakan bahwa paham ini sebagai sistem kefilsafatan, karena
di dalamnya, di tinjau dari segi logika, mengandung pertentangan. Amar
kesusilaan yang di ajarkan oleh vitalisme tentunya akan berduri: “ engkau
hidup”. Tetapi sesungguhnya tidak mengandung makna, mengingat manusia sudah
hidup dan kehendaknya untuk hidup biasanya begitu besarnya, sehingga ia hampir
selalu memilih hidup di banding mati. Mungkin yang dimaksudkan oleh vitalisme
ialah: “ Engkau wajib semata-mata hidup”. Amar semacam ini hanya akan
mengandung makna, manakala manusia mengambil jarak terhadap kehidupan.
Pertentangan dalam yang paling menonjol pada vitalisme ialah
sebagai berikut: paham ini berbicara tentang kehidupan dan hendak memahamkannya
dalam arti alami, namun dalam kenyataan tidak demikian. Artinya, yang
dimaksudkanya adalah lain, sehingga dengan kata lain, vitalisme dalam arti kata
yang sebenarnya bukanlah vitalisme tampak dengan jelas. Jika Rousseau
mengimbau agar manusia kealam kodrat, maka alam kodrat byang dimaksudkan
bukanlah alam berbentuk rimba, melainkan alam berbentuk taman.
Vitalisme juga merupakan reaksi terhadap membekunya
kehidupan rohani, yang bersifat mematikan bagi roh, dan hendak menunjukkan
bahwa kehidupan rohani juga merupakan kehidupan. Paham ini selanjutnya juga
merupakan penentangan terhadap hal-hal yang bersifat rekaan, yang bersifat semu
dan terhadap budaya timpang, dan berhadapan dengan hal-hal tersebut
digariskannya suatu cara hidup “alami” serta budaya “alami”. Secara umum
vitalisme dengan twpat memusatkan perhatian pada bahaya yang terkandung dalam
suatu kehidupan yang di dalamnya terdapat banyak perenungan serta perhitungan,
dan pada pentingnya kehidupan yang serta merta.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hedonisme adalah suatu sikap yang lebih mengutamakan
keduniawian daripada urusan akhirat.
Eudemonisme adalah suatu kesenangan pada diri sendiri maupun
terhadap lingkungan sebagai akibat penyelerasan diri.
Utilisme adalah cirri pengenal kesusilaan adalah manfaat
suatu perbuatan, perbuatan dikatakan baik jika membawa manfaat dan dikatakan
buruk jika membawa madharat
Vitalisme
DAFTAR
PUSTAKA
Fakhry,
Majid. 1996. Etika dalam Islam. Surakarta: Pustaka Pelajar Offset
Amin,
Ahmad. 1995. Etika (Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang
Bertens,
K. 1993. Etika. Jakarta: Gramedia Puataka Utama
Soemargono,
Soejono. Pengantar Etika. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar