Problem
Moralitas dan Pemecahannya dengan Etika Normatif
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Ilmu Akhlak
Dosen Pengampu : Ghufron Dimyati, M. S. I
Disusun Oleh :
1.
Faidhotun
Nikmah (2021
111 267)
2.
Silfina Hayati (2021
111 268)
3.
Nurul Hidayah (2021
111 269)
4.
Ulfah Chafifa (2021
111 270)
Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Pekalongan
Tahun Ajaran
2011
PENDAHULUAN
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia
menempati tempat yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya suatu bangsa dan
masyarakat, tergantung pada bagaimana akhlaknya. Dalam menerapkan akhlak yang
baik dan menyelesaikan suatu masalah, dapat digunakan etika normatif. Etika
normatif itu sendiri bertujuan untuk merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggung jawabkan dengan cara rasional.
Dalam
makalah ini, kami mencoba mengungkap akan beberapa hal yang terkait program
moralitas dan pemecahannya dengan etika normatif sebagai bahan pembelajaran
kita dan menambah wawasan diantara keduanya.
PEMBAHASAN
A. Teori Etika
Normatif
Teori etika
adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar perbuatan dan keputusan
yang benar, serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan
keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang. Oleh karena itu
penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi
konsep-konsep etika, justifikasi atau penelitian terhadap keputusan moral,
sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk. Untuk
lengkapnya, sistem etika harus berkaitan secara memadai dengan aspek-aspek
penelitian moral dengan cara yang bermakna.[1][1]
Etika normatif merupakan bagian terpenting
dari etika dan bidang dimana berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik
tentang masalah-masalah moral. Disini etika normatif tidak bertindak sebagai
penonton netral, seperti halnya dalam etika deskriptif, tetapi ia melibatkan
diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Ia tidak lagi
melukiskan adat mengayau yang pernah terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan
diimasa lampau, tapi ia menolak adat tersebut, karena bertentangan dengan
martabat manusia. Martabat manusia harus dihormati dapat dianggap sebagai
norma. Tentu saja etika deskriptif dapat juga berbicara tentang norma-norma,
misalnya bila ia membahas tabu-tabu yang terdapat dalam suatu masyarakat
primitif.[2][2]
B. Beberapa
Masalah dalam Etika Serta Penanganannya.
1. Moral Sensei/Perasaan Akhlaki
Yang menjadi masalah dalam hal ini
ialah bagaimana suatu perbuatan-perbuatan manusia itu sesuai dengan akhlak atau
tidak. Sesuatu perbuatan dipandang baik oleh masyarakat umumnya atau dipandang
buruk. Dari mana setiap orang dapat menilai sesuatu perbuatan itu baik dan
sesuatu perbuatan lainnya itu buruk. Perasaan terhadap sesuatu perbuatan itu
baik atau buruk itulah yang disebut moral sense. Umpamanya ada seseorang yang
berbuat kasar terhadap orang tua, orang akan menilai bahwa perbuatan itu adalah
tidak baik. Demikian pula terhadap perbuatan seperti : kikir, sombong, takabur,
malas, dan sebagainya. Tetapi sebaliknya umpamanya ada seseorang yang bersikap
ramah tamah, sabar, rendah hati, dermawan, adil, dan sebagainya. Orang akan
menilai bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik dan terpuji.[3][3]
2. Narkoba
Narkoba,
singkatan dari Narkoba, Obat, dan Bahan Berbahaya, adalah sekelompok obat,
bahan, atau zat bukan makanan yang jika diminum, dihisap, ditelan, atau
disuntikkan akan berpengaruh pada kerja tubuh, terutama otak, dan sering
menimbulkan ketergantungan.
Penyalahgunaan
narkoba adalah penggunaan narkoba oleh seseorang bukan untuk tujuan pengobatan,
melainkan agar dapat menikmati pengaruhnya. Apabila seseorang telah mengalami
ketergantungan narkoba, jika pemakaian narkoba dikurangi atau dihentikan,
terjadi gejala sakit yang disebut gejala putus zat. Biasanya disebut sakauw
(sakit karena putauw).
Gejala
seseorang dapat dilihat dari perilakunya. Biasanya orang tersebut mudah
tersinggung, marah, bersikap kasar. Ia sulit berkonsentrasi, mudah lupa, dan
kemauan belajarnya merosot. Akibatnya, ia sulit diatur, hidup tanpa tanggung
jawab, dan memperalat orang lain.
Penyalahgunaan narkoba
adalah korban yang harus ditolong dan dirawat, bukan dihukum, kecuali jika
melanggar hukum. Akan tetapi, ia harus bertanggung jawab atas perilakunya, dan
upaya pemulihannya. Untuk itu ia memerlukan dukungan dari orang-orang yang
mengasihi dan memperdulikannya.[4][4]
3. Kekerasan dan
Pencurian
Kejahatan dalam
hampir semua kejadian dinegara-negara maju adalah terutama suatu fenomena kaum
laki-laki tentang berbagai jenis pencurian yang selalu dibarengi dengan
kekerasan dan sedang menjadi ciri khas anak laki-laki pada saat akhir-akhir
ini. Sebagian besar dari pencurian merupakan ulah anak laki-laki atau pemuda
dari pada yang dilakukan oleh individu-individu yang terisolasi. Suatu studi
tentang kekerasan yang bersifat kenakalan yang dilakukan beberapa waktu lalu
menunjukkan juga bahwa 6% dari semua peristiwa kekerasan yang terjadi
mengakibatkan keadaan terlalu atau meninggal, dan untuk yang sisa, ada 3
kelompok kekerasan serupa, antara lain percekcokkan antara kelompok-kelompok
pemuda pengacau sendiri, perkelahian-perkelahian dengan polisi dalam menantang
penangkapan, dan serangan-serangan yang dilakukan untuk tujuan-tujuan
pencurian.
Statistik
kekerasan hanya terdiri dari kasus-kasus yang sampai diajukan ke pengadilan
atau ke tangan polisi saja. Statistik-statistik tersebut bervariasi dari waktu
ke waktu di suatu negeri atau diberbagai negeri menurut cara-cara yang mana
dilakukan perekaman peristiwa, perubahan dalam bidang perundang-undangan, dan
menurut kewaspadaan serta kebijaksanaan yang diterapkan pihak kepolisian pada
waktu itu.[5][5]
C. Macam-macam
perbuatan yang tidak bermoral.
1.
Antara Kebodohan dan Pembodohan
Kebodohan dan pembodohan adalah dua kata
benda yang berlain makna: kebodohan
berarti “dalam keadaan bodoh,” pembodohan
“ perbuatan menganggap seseorang bodoh).” Ikhwal kebodohan dan pembodohan
rupanya merupakan warisan dalam masyarakat kita. Dalam cerita-cerita rakyat
seperti Sang Kancil kita temukan cerdik yang membodohi bayak insan lain. Kepada
buaya-buayayang akan menyantapnya, dia menyuruh buaya-buaya itu berderet dulu,
lalu dia berpura-pura menghitung jumlahnya sambil menyebrang lewat punggung
mereka, dan selamatlah sampai di lubang sungai.
Proses pembodohan seperti ini
berlanjut dalam masyarakat modern kita, hanya pelaku dan penderitanya saja yang
berbeda.
Proses pembodohan
Dalam dunia olahraga, kita temukan
kasus-kasus yang menarik. Tiap kali ada keharusan sesuatu tetapi keharusan itu
tidak dapat di paksakan kepada rakyat secara terus terang maka keharusan
tersebut tidak pernah di tuangkan dengan kata-kata seperti harus atau wajib tetapi
di selubungkan dengan kata penghalus dihimbau.
Masyarakat di himbau untuk membeli
kupon ini atau sticker itu, kita di
himbau untuk membeli sticker SEA Games, tetapi nyatanya dalam tagihan PLN dan
Telkom “sumbangan wajib” ini sudah langsung di cantumkan dan karenanya harus di
bayar.
Dalam bidang pendidikan, himbauan
ini kadang-kadang juga di wujudkan dalam bentuk instruksi. Suatu saat hampir
saja seluruh anak SD di Indonesia di haruskan membeli sepatu seragam. Setelah
“ketahuan” dan siapakah pemasoknya barulah di nyatakan “tidak ada keharusan”
mereka hanya di himbau saja! Rakyat dianggap tidak tahu bahwa dalam prakteknya,
himbau dan harus itu sama saja. Pada waktu kemudian di tanyakan mengapa harganya
lebih mahal daripada harga sepatu di luar, jawabanya adalah bahwa sebagian dari
hasil penjualan itu akan di sumbangkan ke Gerakan Orang Tua dan Anak, GNOTA.
Sejak kapan GNOTA meminta sumbangan
dari penjualan sesuatu yamh harganya telah di naikkan terlebih dahulu??Dan
kenapa orangtua anak SD di seluruh indonesia harus ikut andil menyumbang
GNOTA?Bukankah sebagian dari mereka justru yang harus di sumbang?
Dunia kehidupan politik merupakan
lahan yang paling subur untuk pembodohan. Pada pernyataan yang mengatakan bahwa
tahun 1998 pemilihan presiden tidak bisa langsung, harus lewat MPR. Alasanya,
rakyat belum siap. Di sebarkan pula bahwa rakyat indonesia masih menghendaki
Soekarno terus menjadi presiden. Eh, apa yang terjadi? Tiga bulan kemudian
terjadilah peristiwa 8 Mei 1998 yang
mengerikan! Rakyat melengserkan presiden yang katanya dikehendaki semua
rakyat.
Waktu itu pemilu langsung juga
dikatakan waktunya karena rakyat kita masih belum siap. Akan tetapi kenyataanya
lain. Pemilu langsung ternyata berjalan lancar dan aman. Pemilu 2004 merupakan
bukti sejarah bahwa rakyat Indonesia tidak sebodoh yang di katakan sebagian
orang. Tanpa membela siapapun kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono menunjukan
bahwa rakyat telah dapat menentukan pilihannya sendiri.
Yang juga menarik dari pembodohan
lainya adalah kasus nepotisme. Dalam kabinet VII dikatakan tidak ada nepotisme
padahal kalau orang buka kamus besar Indonesia akan di temukan difinisi
nepotisme sebagai ”kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara
sendiri, terutama di jabatan, pangkat lingkungan pemerintah”. Yang selanjutnya
yaitu kasus korupsi yang sekarang ini mungkin bisa di katakan sudah menjadi
tradisi bagi mereka yang punya kedudukan dan pangkat yang tinggi.
Mengapa
Ada Kebodohan?
Karena kebodohan adalah suatu
keadaan, maka selama ada anggota masyarakat yang ada pada keadaan itu, selama
itu pula kebodohan akan kita temukan. Kadar kebodohanpun bisa berubah atau
berkurang dengan adanya perubahan melalui pengalaman.[6][6]
Mengapa Ada Pembodohan?
Karena pembodohan adalah suatu
perbuatan, maka pembodohan tidak akan bisa hilang.
4. Disiplin Nasional
Diresmikannya Gerakan Disiplin
Nasional (GDN) oleh (mantan) presiden Soeharto pada tanggal 25 Mei 1995
menunjukan bahwa kedisiplinan dalam kita bermasyarakat memang masih perlu di
tegakkan, dari disiplin supir oplet yang suka nyerobot di jalan, karyawan yang
suka datang terklambat, dosen PTN yang suka ngompreng, sampai anggota DPR/MPR
yang sering mangkir.
Masalah yang perlu di pertanyakan
adalah apakah cara-cara kita mendisiplinkan bangsa ini sudah berada pada jalur
yang benar. Adanya GDN memang akan membantu dan kontribusinya akan bisa
berarti. Akan tetapi dalam prakteknya pendisiplinan itu di lakukan bukan dalam
bentuk penanaman benih etapi dalam bentuk seperti operasi-operasi.
Cara lain yang “aneh” adalah
disiplin itu selalu diidentikkan dengan apa pun yang beratribut atau bersifat
militer. Yang lebih memprihatinkan dalam hal ini adalah bahwa kaum muda di
perguruan tinggi (PT) pun, yang kita harapkan dari generasi penerus serta
pejabat teras dunia akademik, mewujudkan
apa yang dinamakan PDMB (Pendidikan Disiplin Mahasiswa Baru) hampir seluruhnya
dalam bentuk baris-berbaris. Kalau orang sudah bisa berbaris, dia pasti sudah
disiplin! Begitu juga Menwa, untuk mewujudkan kedisiplinan, tampaknya mereka
merasa perlu untuk berseragam seperti
militer.
5. Aneh Tapi Tak Terasa
Dalam
kehidupan, kita sering mengalami hal-hal yang aneh, tetapi anehnya kita tidak
merasa itu aneh. Perasaan tidak aneh
dari yang aneh ini seringkali diakibatkan ketidak tahuan atau ketidak sadaran
kita bahwa ada cara lain di luar tata budaya dan tata sosial kita yang lebih
masuk akal. Karena seringnya di suguhi hal-hal yang aneh ini maka sedikit demi
sedikit lunturlah sifat keanehan itu dan bahkan tumbuhlah semacam persepsi
bahwa yang aneh itulah malah yang tidak aneh. Kita menjadi tidak mampu lagi
untuk melihat adanya keanehan tersebut. Dalam masyarakat kita ada banyak
keanehan yang tidak terasakan anehnya lagi.
Misalnya,
ketika kita melakukan pelanggaran lalu lintas seperti salah masuk jalur, atau
masuk ke daerah three-in-one, maka di
samping “damai di jalan” tindakan yang di lakukan polisi lalu lintas kita
adalah menyita SIM dan STNK kita. Kalau nyenggol pohon atau nabrak sepeda
motor, malah bisa juga mobilnya di tahan, katanya sebagai barang bukti. Satu
hal yang menarik dan aneh adalah bahwa yang melanggar manusianya, tetapi yang
di kenai sanksi termasuk kertas dokumem dan mobilnya, seolah-olah benda ini
telah melakukan kesalahan. Apa kesalahan yang telah di perbuat oleh secarik
STNK atau sebuah sedan? Kalau soalnya soal tabrakan, apa mobilnya yang salah
sampai harus mobil itu ditahan segala!
6. Potret Wakil Rakyat Kita
Marilah kita lihat potret
wakil-wakil rakyat kita yang di lukis dalam tayangan-tayangan televisi dan
cuplikan-cuplikan berita media massalain yang beredar di masyarakat. Mari kita
mulai dari sidang DPR tahun 2000 wakyu presiden di minta untuk memberi jawaban
atas kasus pememecatan dua meteri. Dalam tayangan di televisi tampak seorang
anggota terhormat kita yang menyerukan agar presiden menangani kasus mbon
secara serius, padahal agenda rapat majelis luhur saat itu adalah untuk kasus
pemecatan menteri. Dari contoh ini tampak bahwa wakil kita itu ternyata belum
memahami kasus pemecatan dalam suatu tata cara parlemen.
Masih dalam sekitar tayangan
televisi, Sangat memalukan dan cukup memprihatinkan karena kita di luar gedung
MPR tidak tahu wakil kita yang mutunya rendah berapa jumlahnya. Menurut Arbit
Sanit dalam salah satu diskusi televisinya tahun 2000 wakil rakyat kita demen banget mengintrupsisehingga tidak
mustahil cukup banyak waktu (dan uang!) yang terbuang untuk intrupsi ngalor-ngidul tidak karuan arahnya. Hal
ini tampak pada komisi A yang saat itu hanya berhasil menyelesaikan tujuh dari
limabelas agenda yang di jadwalkan. Dari tujuh perubahan itu, sebagian
diantaranya adalah mengenai bendera, bahasa, lagu kebangsaan, hal-hal yang
tidak ada sangkut pautnya dengan infrastruktur yang akan mengubah nasib bangsa.
Bendera kita mau di cat apa lagi? Apa bahasa nasional kita akan di ganti dengan
bahasa hewan? Dan apa lagu kebangsaan kita akan di rubah menjadi lagu Nina Bubuk?
Dalam sidang tahunan 2000. Biaya
yang di keluarkan sangat besar, konon mencapai lebih dari Rp 25 milyar sebagian
besar adalah untuk makan dan penginapan di hotel mewah, termasuk makanan dan
penginapan untuk wakil rakyat yang sudah di beri rumah dan tinggal di Jakarta.
Kita rakyat kecil di beri alasan: supaya mereka tepat waktu. Begitu rajinnya
wakil rakyat kita sehingga ketua MPR terpaksa menunda sidang pleno beberapa
kali karena quorum tidak tercapai!. Kehadiran dalam rapat hanya dalam bentuk
tandatangan sering terjadi tampaknya sudah menjadi tradisi pada sebagian wakil
rakyat kita, itulah sebabnya mengapa seringkali rapat di tunda atau gagal di
laksanakan karena tidak tercapainya quorum. Dari pernyataan yang seperti ini
kita bisa mengerti mengapa tidak banyak yang telah di hasilkan oleh wakil-wakil
rakyat kita.
Dari tayangan dan laporan wartawan
televisi untuk sidang-sidang MPR tampak pula adanya anggota yang terlihat
membaca koran atau duduk dengan muka tertelungkup ke meja alias tidur! Yang
ironis dari keadaan seeperti ini adalah bahwa mereka malah akan di beri
pesangon dalam bentuk cincin emas sepuluh gram per anggota sebagai tanda
penghormatan. Yang di hormati apanya? Interupsinya? Mbolosnya? Tidurnya?
Keadaan seperti ini akhirnya membuat DPR di kenal sebagai lembaga yang memiliki
tiga dimensi (3 D)-datang, duduk, dan duit![7][7]
7. Apa Habis Gelap akan Terbitlah
Terang
Wajah para wakil rakyat kita hasil
pemilu 2004 saai ini masih ambivalen. Di satu pihak kita ceria melihat ketua
MPR dan beberapa Ketua Fraksi tidak mau menginap di hotel-hotel mewah, malah
agak overacting dengan menginap di
kantor. D pihak lain kita melihat bahwa perilaku mereka masih tidak jauh
berbeda dengan yang terdahulu. Mungkin Gus Dur benar waktu beliau berkata bahwa
DPR itu seperti taman kanak-kanak. Betapa tidak! Mereka rebutan kekuasaan
dengan teriak-teriak, mengacungkan kepalan tangan dan gebrak-gebrak meja,
persis seperti anak kecil yang tidak di kasih mainan yang dia minta. Begitu
rebutan ini selesai, mereka lalu lenggak-lenggok tidak masuk kantor. Presiden
yang baru beberapaminggu memegang tampuk pemerntahan bukannya di dukung untuk
bekerja sama dengan wakil rakyat menuju kemakmuran bersama tetapi sudah mau di
goyang-goyang. Kapan presiden bisa mendiagnose dan mengobati penyakit bangsa
kalau beliau terua diricukin oleh
wakil rakyat? Dan kapan wakil rakyat kita ini mulai bekerja, dan bekerja untuk
rakyat?
Kartini masih punya harapan bahwa
sehabis gelap terbitlah terang. Apa rakyat indonesia tidak layak untuk
mendambakan kecerahan seperti harapan Kartini di masa depan?
KESIMPULAN
Kedudukan akhlak
dalam kehidupan manusia sangat penting, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat dan bangsa. Kejayaan seseorang, masyarakat dan bangsa
disebabkan akhlaknya yang baik. Sedangkan kejatuhan nasib seseorang, masyarakat
dan bangsa adalah karena kehilangan akhlak yang baik atau jatuh akhlaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Fakhry Majid.
1996. Etika dalam Islam. Terj. Zakiyyudin Baidhawy. Surakarta: Pustaka
Fajar Offset
Bertens K.
2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Djatnika
Rachmat. 1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas
Joewana Satya.
2002. Menangkal Narkoba dan Kekerasan. Jakarta: Balai pustaka
Wall. W.D.
1993. Anak-anak Cacat dan yang Menyimpang. Jakarta: Balai Puataka
Dardjowidjojo Soenjono. 2005. Robohnya Moral
Kami. Jakarta: Buku Obor
[1][1] Majid Fakhry. 1996. Etika
dalam Islam. Terj. Zakiyyudin Baidhawy. Surakarta: Pustaka Fajar Offset
[2][2] K Bertens. 2002. Etika.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
[3][3] Prof. Dr. H. Rachmat
Djatnika. 1992. Sistem Ethika Islami. Jakarta : Pustaka Panjimas
[4][4] Dr. Satya Joewana, Sp. K.J.
2002. Menangkal Narkoba dan Kekerasan. Jakarta: Balai pustaka
[5][5] W.D.Wall. 1993. Anak-anak
Cacat dan yang Menyimpang. Jakarta: Balai Puataka
[6][6] Soenjono Dardjowidjojo.
2005. Robohnya Moral Kami. Jakarta: Buku Obor
[7][7] Soenjono Dardjowidjojo.
2005. Robohnya Moral Kami. Jakarta: Buku Obor