MAKALAH
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS NORMA DALAM ETIKA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Dosen Pengampu : M. Ghufron Dimyati M.SI
Mata Kuliah : Ilmu Akhlak
Kelas : F
Kelompok : 10 (sepuluh)
Disusun oleh :
1. Nila Naeli Rohmah (2021 111 271)
2. Mayda Ar Rohmah (2021 111 272)
3. Mareta Sofiana (2021 111 273)
4. Muhammad Faiqi (2021 111 274)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2011/2012
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhuk sosial, dalam kehidupan sosial perlu ada tatanan. Adanya
tatanan dalam kehidupan manusia menempati posisi yang sangat penting.
Ketentuan-ketentuan dalam ilmu akhlak seharusnya dapat membimbing dan
mengarahkan perilaku manusia dimana dan kapanpun ia berada. Penilaian
tentang baik dan buruknya suatu perbuatan tidak tergantung pada manusia,
tetapi perbuatan manusialah yang harus menyesuaikan dengan ketentuan
yang sudah digariskan itu.
Oleh
karena itu tidak berebihan apabila dikatakan bahawa ilmu akhlak,
kemudian diamalkan menjadi akhlak al-karimah merupakan salah satu faktor
yang sangat menetukan kejayaan dan kebahagiaan suatu masyarakat dan
bangsa. Artinya suatu bangsa akan jaya dan bahagia apabila para warga
dan pemimpinnya mengikuti dan melaksanakan ketentuan yang ada dalam ilmu
akhlak yang sebaik-baiknya, sehingga mereka akan dapat memiliki akhlak
yang mulia.
Menyadari
pentingnya penerapan lmu akhlak dalam pembetukan kepribadian manusia,
maka tidak mengherankan apabila mata pelajaran akhlak ditetapkan sebagai
salah satu mata pelajaran yang harus diberikan kepada setiap jenjang
pendidikan. Dan makalah ini akan membahas salah satu materi dalam ilmu
akhlak, agar diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.
PEMBAHASAN
1.Norma Moral
Norma moral
adalah norma tertinggi, yang tidak bisa di taklukan pada norma lain.
Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma yang lain. Seandainya ada
norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya didasarkan atas
diskriminasi terhadap wanita, maka norma itu harus kalah terhadap norma
moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada undang-undang
yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus dihapus, atau
diubah. Dan sepanjang sejarah hal itu sudah sering terjadi.
Seperti norma-norma yang lain juga, norma moral pun dirumuskan dalam bentuk positif atau negative. Dalam bentuk positif norma
moral tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan,
misalnya: kita harus menghormati kehidupan manusia, kita harus
mengatakan yang benar. Dalam bentuk negative norma moral tampak sebagai
larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya:
jangan membunuh, jangan berbohong, dan lain sebagainya.[1]
Norma
moral bersifat kategoris atau tidak bersyarat, tidak dimaksudkan
sebagai aturan yang bersyarat, melainkan bersifat mutlak. Sifatnya yang
tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan ”wajib”. Kita terikat
untuk melakukan kewajiban, tetapi justru kalau kita mengerjakan, kita
akan merasa ringan, karena setelah itu merasa “tidak mempunyai beban”
apapun.[2]
Dan
perintah tidak bersyarat, tidak berasal dari pengalaman. Perintah
kesusilaan berasal dari kenyataan yang transenden. Disini terdapat
kecenderungan yang bersifat
“deontis” yang menekankan pada aspek keharusan. Tetapi norma susila atau
moral bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh, atau mengembalikan
harkat kemanusiaan yang sebenarnya. jadi apabila orang taat dengan norma
moral, ada kemungkinan akibat yang didapatkan justru bukan merupakan
akibat yang dihadapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan. Taat kepada
norma moral, bisa berarti selamat, tetapi selamat tidak selalu berarti
dengan bermanfaat.[3]
Ada
baiknya, kita menyimak kritik dari kaum positivis bahwa pada umumnya
“kesalahan” yang dilakukan adalah menganjurkan suatu perbuatan susila
dengan menunjukan akibat-akibat langsung yang menyenangkan dan
memberikan kesukaan.
Sehingga
menimbulkan suatu kritik bahwa kebanyakan norma moral, perintah berbuat
susila, ungkapan susila sebagai norma, perintah dan ungkapan yang
emosional saja. Kritik ini dimulai dengan menunjukan dua kalimat
kognitif, yaitu:
a. kalimat kognitif analitikyang kebenarannya terkandung dalam istilahnya.
Contohnya : “segi empat mempunyai empat sisi”.
b. kalimat kognitif yang sintetik, kebenarannya terkandung dalam realitas
Contohnya : “Diluar ruang ini hujan turun”.[4]
2. Universalitas Norma Moral
Norma moral bersifat universal, artinya harus selalu berlaku dan dimana-mana. Mustahillah
norma moral yang berlaku di satu tempat tapi tidak berlaku di tempat
lain. Hal itu memang dapat terjadi dengan norma hukum (yang didasarkan
pada undang-undang yang berbeda), tapi tidak mungkin terjadi dengan
norma moral. Bisa saja bahwa satu negara mengenal undang-undang yang
melindungi rahasia bank, sedang negara lain tidak punya. Tapi sulit
untuk dibayangkan bahwa norma kejujuran berlaku di tempat tertentu saja
tetapi tidak berlaku di tempat lain.[5]
Suatu
aliran dalam pemikiran yang menolak adanya norma universal adalah
“etika situasi”. Menurut para pengikutnya, tidak mungkin ada norma-norma
moral yang berlaku umum, sebab setiap situasi berbeda. Perilaku manusia
selalu berlangsung dalam situasi konkret. Tidak ada situasi yang persis
sama. Karena itu hanya situasilah yang menetukan apakah suatu tindakan boleh disebut baik atau buruk dari segi moral. Baik buruknya tidak bisa ditentukan secara umum, terlepas dari keadaan konkret.
Dalam
bentuk ekstreamnya etika situasi ini tidak bisa dipertahankan. Tapi
tidak bisa disangkal juga bahwa di sinipun terkandung unsur kebenaran.
Hal ini akan kita selidiki dengan beberapa pertimbangan kritis.
· Tanpa
ragu-ragu akan kita setujui bahwa perbuatan-perbuatan moral tertentu
tidak tergantung dari situasi. Misalnya, tindakan terorisme seperti
meledakan pesawat terbang, sehingga mengakibatkan korban manusia yang
tidak bersalah, tidak pernah dapat dibenarkan. Mungkin kita dapat
mengerti motif-motif para teroris. Mungkin mereka memperjuangkan hak-hak
territorial mereka yang sah. Tapi tidak pernah dapat kita setujui
tindakan itu sendiri. Tentang kasus tadi dan banyak kasus lain yang
sejenis semua orang akan sepakat bahwa disini berlaku norma-norma yang
universal. Norma-norma itu selalu dan dimana-mana sama. Malah harus
dikatakan bahwa tidak ada etika lagi, kalau tidak ada norma umum. Etika
situasi dalam bentuk ekstream sebenarnya mengandung kontradiksi. Kalau
setiap situasi membutuhkan norma tersendiri, maka namanya bukan norma
lagi dan pemikiran kita tentangnya tidak lagi etika. Etika justru
mengandaikan adanya norma umum.
· Tapi
jika kita menolak etika situasi yang ekstream, kita harus menolak juga
lawannya, yaitu legalisme moral. Dengan legalisme moral dimaksudkan
kecenderungan untuk menegakan norma moral secara buta, tanpa
memperhatikan sedikit pun situasi yang berbeda-beda. Dalam hal ini
mereka tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. Padahal, faktor-faktor
diluar norma moral itu sering kali penting untuk menilai kualitas etis
suatu perbuatan. Misalnya, kejujuran merupakan suatu norma moral yang
umum. Mencuri barang milik orang lain tidak pernah dapat dibenarkan.
Tapi dalam kasus seorang miskin mencuri ayam, tentu penilaian etis kita
harus lain daripada bila koruptor kelas kakap menyelewengkan milyaran
rupiah. Kita harus mengakui kepada pengikut etika situasi bahwa dalam
menerapkan norma moral kita harus mempertimbangkan keadaan konkret.
· Walaupun
dalam penilaian etis situasi harus selalu turut dipertimbangkan, namun
kebanyakan masalah di bidang etika tidak disebabkan karena terjadi
konflik antara norma dan situasi, dalam arti bahwa situasi merongrong
atau memperlemah norma.[6]
Etika situasi
dalam bentuk ekstream tidak tahan uji. Bahkan seperti sudah kita lihat,
etika situasi sebenarnya menyangkal adanya norma dan pada akhirnya
menghancurkan etika. Etika selalu menuju ke suatu posisi umum. Etika
mencari yang mengikat kita semua sebagai manusia. Justru karena itu kita
bisa berdiskusi tentang masalah-masalah etis dan dan mengkritik
perilaku moral orang lain. Bagi para penyusun Undang-Undang dasar 1945,
misalnya ; kolonialisme merupakan suatu masalah etis, karena penjajahan
itu ”tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Karena itu
mereka tidak berpendapat bahwa penjajahan harus ditiadakan diwilayah
Indonesia saja, melainka bahwa “penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan “.[7] Tuntunan etis itu mempunyai implikasi universal. Atau
jika ada rezim pemerintahan yang didasarkan atas prinsip rasisme, kita
protes. Kita tidak mengatakan: “dalam kebudayaan kita hal seperti itu
tidak dapat diterima, tapi terserah kalau budaya lain punya pandangan
lain”. Sebaliknya, kita yakin bahwa di sini dilanggar suatu norma moral
yang berlaku umum. Menerapkan norma itu tidak merupakan urusan pribadi
atau lokal saja. Dibidang etis tidak berlaku prinsip “lain ladang lain
belalang”. Norma moral mengikat semua manusia.
3. Relativisme Norma Moral
Paul Edward menggolongkan bentuk relativisme dalam 3 macam:
a. Relativisme Kultural
Seringkali dalam perkuliahan, dikemukakan pertanyaan oleh mahasiswa dengan disertai contoh-contoh, misalnya:
“Dikatakan hak berbicara merupakan hak universal, tetapi mengapa di Indonesia mempunyai aturan berbeda dengan amerika serikat.
“Mengapa sampai terjadi perbedaan antara bunuh diri ditempat lain dengan hara-kiri di jepang”.[8]
Inilah letak
dari relativisme kultural, kita melihat perbedaan, tetapi sebelum
melangkah lebih jauh yang paling penting melihat kesamaan nilai
dasarnya. Dalam contoh pertama diatas kesamaan menghormati salah satu
hak asasi manusia. Contoh kedua terletak dalam pengertian bahwa setiap
tingkah laku perbuatan kita harus dihadapi dengan tanggung jawab.
Dalam
pendapat Sidney Hook, bahwa persoalan semacam ini harus didekati dengan
historis dan konkrit, artinya secara historis dan konkrit, budaya
Indonesia tidak menerima cara bicara dan mengemukakan pendapat secara
terang-terangan atau barangkali negara Indonesia terlalu menganggap
resiko menanggung akibat kebebasan bicara baik dari segi politik,
ekonomi dan kebudayaan sendiri.[9]
a. Relativisme Normatif
Kita
sering melihat sebagian orang menganggap bahwa jika ada pernyataan
norma moral yang sifatnya universal itulah yang memecahkan seluruh
persoalan. Kalau ada pernyataan: “saya harus jujur”, maka pernyataan itu
harus dipegang secara kaku, dengan mengabaikan pertimbangan lain.
Padahal
adanya kasus menunjukan bahwa ternyata memang dibutuhkan norma khusus
untuk menangani situasi dan kondisi yang sifatnya khusus pula. Sehingga
meskipun di butuhkan prinsip universal, sering prinsip tersebut tidak
dapat memecahkan masalah konkrit begitu saja.
Contoh relativisme normative:
· Sifat
jujur, merupakan prinsip yang mutlak, tetapi dalam kehidupan suami
istri, kita toh harus “menyembunyikan” sebagian pengalaman masa lamapau
demi kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga.
· Menolong
orang, adalah tindakan yang bermoral. Jikalau ada orang yang jatuh di
sungai, itu kewajiban saya untuk menolongnya, menurut norma moral umum.
Tetapi apabila saya tidak ada di tempat kejadian, atau tidak memiliki
alat untuk menolongnya, atau tidak bisa berenang, dan saya memaksa diri
untuk menolong maka saya menjadi orang yang paling tolol didunia.
Kita
harus menafsirkan norma yang umum sebagai aspirasi yang meliputi dan
menjiwai. Dan dalam pelaksanaan nya kita memperhitungakan syarat-syarat
pendukung, mempertimbangkan kemampuan dan tergantung dari situasi dan
kondisi pelaksanaan.
b. Relativisme Meta Etika
Semua
manusia, kata Sidney hook, lebih sepakat mengenai apa yang baik dan apa
yang buruk dari pada mengapa hal-hal tersebut baik dan mengapa buruk.
Semua orang mengakui bahwa kesehatan baik, penyakit buruk, keadilan
baik, ketidakadilan buruk, dan sebagainya.
Semua
nilai dasar tersebut tersebut begitu dituangkan dalam norma, akhirnya
pertanyaan “mengapa” semua itu baik dan buruk akan mendapatkan jawaban
yang berbeda. Barangkali benar apa yang disinyalir oleh Kurt Baier,
tentang adanya titik pangkal moral. Kenyataan bahwa kita sering tidak
mencapai kesepakatan pendapat dalam norma moral hanya menunjukan bahwa
kita tidak mampu menepati titik pangkal moral tersebut yang berupa :
1). Apabila semua pihak bebas dari paksaan dan tekanan
2). Tidak mencari keuntungan sendiri
3). Bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku umum
4). Mempunyai pengertian teoritik yang yang jelas
5). Mengetahui semua informasi yang bersangkutan dengan masalahnya.[10]
Persoalannya,
apabila norma etika diragukan kedudukannya sebagai satu batasan,
kesulitan yang timbul memang atas dasar apakah perbuatan manusia dinilai
baik buruknya. Sebuah norma etika harus bersifat terbuka, artinya
terbuka kepada setiap pembenaran, penyangkalan, maupun terbuka dalam
arti tidak mengnggap norma nya sendiri paling benar, dan norma orang
lain salah.
Yang
patut dicatat bahawa norma moral dan perintah, untuk berbuat susila itu
tidak semata-mata bersifat keras, mewajibkan dan mendorong orang secara
otoriter sebagai sifatnya. Tetapi harus dilihat dari sikap dan
tanggapan manusia terhadap norma atau perintah tersebut. Apabila orang
dengan ikhlas , sukarela mengerjakan apa yang diminta atau diperintahkan
oleh norma atau berbuat susila, maka hal tersebut akan menjelmakan
pengaruh yang memberi kesukaan dan bermanfaat saja. Tetapi kalau manusia
mencoba melawan dan mencoba melepaskan dari “kekuasaan” norma moral,
maka manusia akan mengenal norma dan perintah untuk berbuat susila tadi
sebagai hal-hal yang bersifat keras, otoriter, dan memaksa.[11]
KESIMPULAN
Harus diakui
bahwa penilaian bagi tingkah laku manusia meliputi seluruh aspek dan
segi kehidupan. Etika mutlak bagi manusia, sejauh manusia ingin
mempunyai nilai secara manusiawi, manusia utuh. Disini tidak ada pilihan
lain kecuali ia harus selalu mempertahankan dan melaksanakan
nilai-nilai moral.
Kekuatan
dan sekaligus kesadaran moral merupakan suatu kekuatan yang mendorong
manusia, agar di dalam tingkah lakunya selalu ingat akan nilai moral.
Etika itu sendiri berarti pula sikap untuk memahami pilihan yang
seharusnya diambil diantara sekian banyak pilihan bertingkah laku.
Tentunya agar berperilaku baik sesuai norma-norma etika.
Pada
akhirnya kita pun melihat persoalan etika tidaklah semata-mata bersifat
teoritik murni mengenai gejala moral, karena pada akhirnya ia memang
harus menjawab dan merumuskan “bagaimana seharusnya” hidup. Dan
persoalan itu tidak sekedar ingin mengetahui apa yang baik dan apa yang
buruk dalam perbuatan, melainkan juga mempersoalkan “bagaimana
seharusnya” menjadi baik dan “bagaimana seharusnya” meninggalkan yang
buruk.
PENUTUP
Sebagai
penutup, kami ingin menekankan bahwa etika sebagai pengetahuan tidak
akan berguna tanda dilandasi sikap tanggung jawab, sebab etika itu
sendiri suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatan alam
dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi
Tanggung
jawab hanya dapat dituntut apabila ada kebebasan untuk memilih. Apabila
kebebasan sudah kita miliki, mampukah kita mempunyai keberanian moral
dalam artinya mau menanggung akibat apapun dari perbuatan kita, yang
memilih prinsip kesusilaan atas dasar keyakinan kebenaran.
Daftar Pustaka
1. K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993).
2. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995).
3. Encyclopedia of Philosophy, vol. III, The Mc. Millan Coy 1967 and The Free Press, New York.
4. Franz Von Magnis, Etika umum, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1979.
5. Drijarkara, Pertjikan Filsafat, PT. Pembangunan, Jakarta, 1966
6. Van Peursen, stategi kebudayaan, BPK Gunung Mulia, 1976 Jakarta.
7. Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)
[1] K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 149.
[2] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995), hlm 131-132.
[3] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995), hlm 131-132.
[4] Lihat Kattsoff, Unsur-unsur Filsafat, Bab. XVI
[5] K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 149.
[6] Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)
[7] Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
[8] Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)
[9] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995)
[10] Lihat, Encyclopedia of Philosophy.
[11] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995)