BAB
I
PENDAHULUAN
Fitrah manusia bukan satu-satunya potensi manusia yang dapat
mencetak manusia sesuai dengan fungsinya, tetapi ada juga potensi lain
yang menjadi kebalikannya dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai
kecendrungan pada keburukan dan kejahatan, untuk itulah fitrah harus
tetap dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara
wajar apabila mendapat suplai yang dijiwai oleh wahyu (fitrah al-munazzalah).
Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman Islam, semakin tinggi
tingkat interaksi seseorang kepada Islam, semakin baik pula perkembangan
fitrahnya. Manusia lahir dengan membawa fitrah, yang mencakup fitrah agama,
fitrah intelek, fitrah social, fitrah ekonomi, fitrah seni, kemajuan, keadilan,
kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin mengembangkan
keturunan, cinta tanah air, dan sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut harus
mendapat tempat dan perhatian, serta pengaruh dari faktor oksigen manusia
(lingkungan) untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif dan
sebagai penangkal dari kelestarian “An-nafsu Ammarah bissu”, sehingga
manusia dapat hidup searah dengan tujuan Allah yang menciptakannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh
pembawaan
“Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulallah
saw bersabda: setiap yang dilahirkan terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua
ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani, sebagaimana
unta yang dilahirkan sebagai binatang yang sempurna, apakah engkau merasakan di
dalamnya ada hidung yang terpotong ?”
Mencermati
hadis di atas dapat dipahami bahwa pendidikan, utamanya pendidikan yang
diberikan kedua orang tua terhadap
anak-anaknya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan
fithrah anak, karena pada dasarnya anak memiliki sifat dasar atau kecenderungan
beragama yang lurus yaitu agama tauhid, hanya saja persoalannya kemudian
bagaimana kedua orang tua “khususnya”
dan lembaga pendidikan/ sekolah serta masyarakat lingkungan di mana
peserta didik berada memberikan pendidikan
kepadanya, karena berbicara masalah pendidikan sesungguhnya terdapat tiga titik
sentral dalam arena pendidikan anak yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat,
yang ketiganya saling terkait terintegrasi dan tidak mungkin dipisah-pisahkan.
Orang tua sebagai figur pendidik
pertama dan utama bagi anak-anak tentu memiliki peran yang teramat besar dalam
memberikan dasar bagi pendidikan putra-putrinya, dan sekolah sebagai
penerus pendidikan keluarga juga punya
tanggung jawab moral untuk memberikan kepribadian peserta didik menjadi manusia yang baik, sementara
masyarakat di mana anak tinggal, punya andil cukup besar di dalam turut
memberikan warna dan membentuk karakter kepribadian mereka.
Karena peran keluarga terutama dua
orang tua sangat dominan dalam pedndidikan anak-anaknya maka adalah merupakan
kewajiban keluarga untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan
pendidikan putra-putri mereka terutama pada tahun-tahun pertama dari
kehidupannya atau usia pra sekolah, karena masa tersebut adalah masa-masa
penting dan paling kritis dalam usia anak, sehingga anak akan selalu memberikan
pertanyaan tentang apa saja kepada orang dewasa, dan apa yang dilihat, didengar
dan dirasakan akan sangat membekas dalam diri anak sehingga tidak mudah untuk
dilupakan.[1]
Dalam pandangan islam kemampuan
dasar/ pembawaan itu disebut dengan “Fitrah” yang dalam pengertian etimologis
mengandungg arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata
kerja fatoro yang berarti menjadikan.
Kata “Fitrah” ini disebut dalam
al-Qur’an, Surat Ar- Rum: 30 sebagai berikut:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan
selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya); itulah fitrah Allah,
yang Allah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Namun
kebanyakan orang tidak mengetahuinya (Q.S. Ar-Rum; 30).[2]
Dalam alam pikiran barat persoalan
di atas termasuk dalam topik bahasan tentang faktor turunan atau warisan (heredity) dan faktor
lingkungan (envirotment. Pandangan-pandangan
sekitar dua faktor ini telah melahirkan tiga aliran sebagai berikut:
1. Empirisme
Jhon Locke (1632-1704) yang memelopori aliran ini
mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor lingkungan,
terutama pendidikan. Ia mengemukakan teorinya bahwa tiap individu lahir sebagai
kertas putih, dan lingkunganlah yang “menulis” kertas itu. Dalam teori ini
pengalaman yang berasal dari lingkungan menentukan pribadi seseorang, dan baik
atau buruknya seseorang tergantung dari pendidikan yang diterimanya.
2. Nativisme
Tokoh aliran ini ialah Arthur Schopenhauer
(1788-1860), asal Jerman. Ia berpandangan bahwa faktor pembawaan ysng bersifat
kodrati dari kelahiran dan tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau
pendidikan itulah kepribadian manusia. Sejak lahir seseorang telah membawa
potensi-potensi warisan yang baik atau buruk. Potensi-potensi itulah pribadi
seseorang, bukan hasil pendidikan.
3. Konvergensi
Dua aliran di atas tampak kurang realistis. Realitas
menunjukkan bahwa potensi warisan yang baik saja tanpa pengaruh lingkungan
pendidikan yang baik tidak akan dapat membina kepribadian yang ideal.
Sebaliknya, meskipun lingkungan pendidikan itu baik, tanpa potensi warisan yang
baik, tidak aikan menghasilkan kepribadian yang ideal. Oleh karena itu,
perkembangan pribadi sesungguhnya dalah hasil proses kerjasama dua faktor;
warisan dan lingkungan. Dengan kata lain, tiap pribadi merupakan hasil
konvergensi dua faktor tersebut. Teori ini dikemukakan oleh William Setern
(1871-1938) dan dikenal dengan teori konvergensi.
Di antara ulama klasik yang
menyinggung masalah faktor warisan dan faktor lingkungan dalam pendidikan
adalah Ibnu Maskawaih (1320 H/ 932 M) ketika dia membahas masalah karakter.
Yang dimaksud dengan karakter menurut pendapatnya adalah kondisi mental yang
membuat seseorang bertindak dengan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan
mendalam. Dalam hal ini dia, antara lain, mengemukakan dua pandangan ekstrem.
Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa manusia secara alami adalah baik, dan
bisa berubah menjadi buruk karena faktor lingkungan. Kedua, pandangan yang
mengatakan bahwa manusia secara alami adalah buruk, dan bisa menjadi baik
karena faktor lingkungan.[3]
B. Pengaruh
lingkungan (Penjual Minyak Wangi dan Menjual Kasturi)
“Dari
Abu Burdah bin Abdullah, ia berkata: Aku mendengar Abu Burdah bin Abu Musa
meriwayatkan dari bapaknya r.a. dia berkata: Rasulallah saw bersabda:
“perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti
pemilik minyak kasturi dan perapian (dapur) pandai besi; engkau tidak akan lepas
dari pemilik minyak kasturi, adakalanya engkau membelinya atau mencium
aromanya. Adapun perapian (dapur) pandai besi (adakalanya) membakar tubuhmu,
atau rumahmu atau pakaianmu, atau engkau mencium bau tidak sedap darinya”.
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua
contoh (yakni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi). Bergaul bersama
dengan teman yang shalih akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual
minyak wangi yang akan memeberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa
jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan
duduk bersanding dengannya , engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak
wangi tersebut. Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman dengan
orang yang shalih lebih banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak
wangi. Dia akan mengajarkan kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan
agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga akan mengingatkan dari
hal-hal yang membuatmu celaka. Di juga senantiasa memotivasi dirimu untuk
mentaati Allah, berbakti kepada kedua orangtua, menyambung silaturahmi, dan
bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga mengajak untuk berakhlak mulia baik
dalam perkataan, perbuatan, maupun bersikap. Sesungguhnya seseorang akan
mengikuti sahabat atau teman dekatnya dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya
saling terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.
Sebaliknya,
bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya
buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memeproleh kejelakan yang
dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa
berteman dengan teman yang buruk memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang
bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya,
dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul
bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab
keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti
sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak. Oleh
karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi seorang hamba
yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa teman yang baik. Sebaliknya,
hukuman bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk.
(Bahjatu Qulubil Abrar, 185). [4]
Nilai
Tarbawi dari kedua hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Manusia
dilahrkan dalam fitrah
BAB III
PENUTUP
[4]
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/pengaruh-teman-bergaul.html
diakses pada tanggal 1 november 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar