Social Icons

Pages

16 Nov 2012

Pengaruh Lingkungan dan Pembawaan



BAB I
PENDAHULUAN
Fitrah manusia bukan satu-satunya potensi manusia yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya, tetapi ada juga potensi  lain yang menjadi kebalikannya dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai kecendrungan pada keburukan dan kejahatan, untuk itulah fitrah harus  tetap dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara wajar apabila mendapat suplai yang dijiwai oleh wahyu (fitrah al-munazzalah). Tentu saja hal ini harus didorong dengan pemahaman Islam, semakin tinggi tingkat interaksi seseorang kepada Islam, semakin baik pula perkembangan fitrahnya. Manusia lahir dengan membawa fitrah, yang mencakup fitrah agama, fitrah intelek, fitrah social, fitrah ekonomi, fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin mengembangkan keturunan, cinta tanah air, dan sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut harus mendapat tempat dan perhatian, serta pengaruh  dari faktor oksigen manusia (lingkungan) untuk mengembangkan dan melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal dari kelestarian “An-nafsu Ammarah bissu”, sehingga manusia dapat hidup searah dengan tujuan Allah yang menciptakannya.
           
           






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengaruh pembawaan





Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulallah saw bersabda: setiap yang dilahirkan terlahir dalam keadaan fitrah, maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani, sebagaimana unta yang dilahirkan sebagai binatang yang sempurna, apakah engkau merasakan di dalamnya ada hidung yang terpotong ?”
            Mencermati hadis di atas dapat dipahami bahwa pendidikan, utamanya pendidikan yang diberikan kedua orang tua terhadap  anak-anaknya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan fithrah anak, karena pada dasarnya anak memiliki sifat dasar atau kecenderungan beragama yang lurus yaitu agama tauhid, hanya saja persoalannya kemudian bagaimana kedua orang tua “khususnya”  dan lembaga pendidikan/ sekolah serta masyarakat lingkungan di mana peserta didik  berada memberikan pendidikan kepadanya, karena berbicara masalah pendidikan sesungguhnya terdapat tiga titik sentral dalam arena pendidikan anak yaitu: keluarga, sekolah dan masyarakat, yang ketiganya saling terkait terintegrasi dan tidak mungkin dipisah-pisahkan.
            Orang tua sebagai figur pendidik pertama dan utama bagi anak-anak tentu memiliki peran yang teramat besar dalam memberikan dasar bagi pendidikan putra-putrinya, dan sekolah sebagai penerus  pendidikan keluarga juga punya tanggung jawab moral untuk memberikan kepribadian peserta didik  menjadi manusia yang baik, sementara masyarakat di mana anak tinggal, punya andil cukup besar di dalam turut memberikan warna dan membentuk karakter kepribadian mereka.
            Karena peran keluarga terutama dua orang tua sangat dominan dalam pedndidikan anak-anaknya maka adalah merupakan kewajiban keluarga untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan pendidikan putra-putri mereka terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya atau usia pra sekolah, karena masa tersebut adalah masa-masa penting dan paling kritis dalam usia anak, sehingga anak akan selalu memberikan pertanyaan tentang apa saja kepada orang dewasa, dan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan akan sangat membekas dalam diri anak sehingga tidak mudah untuk dilupakan.[1]
            Dalam pandangan islam kemampuan dasar/ pembawaan itu disebut dengan “Fitrah” yang dalam pengertian etimologis mengandungg arti “kejadian”, oleh karena kata fitrah  itu berasal dari kata kerja fatoro yang berarti menjadikan.
            Kata “Fitrah” ini disebut dalam al-Qur’an, Surat Ar- Rum: 30 sebagai berikut:



Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya, (sesuai dengan kecenderungan aslinya); itulah fitrah Allah, yang Allah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Itulah agama yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak mengetahuinya (Q.S. Ar-Rum; 30).[2]

            Dalam alam pikiran barat persoalan di atas termasuk dalam topik bahasan tentang faktor  turunan atau warisan (heredity) dan faktor lingkungan (envirotment. Pandangan-pandangan sekitar dua faktor ini telah melahirkan tiga aliran sebagai berikut:
1.      Empirisme
Jhon Locke (1632-1704) yang memelopori aliran ini mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor lingkungan, terutama pendidikan. Ia mengemukakan teorinya bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkunganlah yang “menulis” kertas itu. Dalam teori ini pengalaman yang berasal dari lingkungan menentukan pribadi seseorang, dan baik atau buruknya seseorang tergantung dari pendidikan yang diterimanya.
2.      Nativisme
Tokoh aliran ini ialah Arthur Schopenhauer (1788-1860), asal Jerman. Ia berpandangan bahwa faktor pembawaan ysng bersifat kodrati dari kelahiran dan tidak dapat diubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan itulah kepribadian manusia. Sejak lahir seseorang telah membawa potensi-potensi warisan yang baik atau buruk. Potensi-potensi itulah pribadi seseorang, bukan hasil pendidikan.
3.      Konvergensi
Dua aliran di atas tampak kurang realistis. Realitas menunjukkan bahwa potensi warisan yang baik saja tanpa pengaruh lingkungan pendidikan yang baik tidak akan dapat membina kepribadian yang ideal. Sebaliknya, meskipun lingkungan pendidikan itu baik, tanpa potensi warisan yang baik, tidak aikan menghasilkan kepribadian yang ideal. Oleh karena itu, perkembangan pribadi sesungguhnya dalah hasil proses kerjasama dua faktor; warisan dan lingkungan. Dengan kata lain, tiap pribadi merupakan hasil konvergensi dua faktor tersebut. Teori ini dikemukakan oleh William Setern (1871-1938) dan dikenal dengan teori konvergensi.
            Di antara ulama klasik yang menyinggung masalah faktor warisan dan faktor lingkungan dalam pendidikan adalah Ibnu Maskawaih (1320 H/ 932 M) ketika dia membahas masalah karakter. Yang dimaksud dengan karakter menurut pendapatnya adalah kondisi mental yang membuat seseorang bertindak dengan mudah tanpa pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini dia, antara lain, mengemukakan dua pandangan ekstrem. Pertama, pandangan yang mengatakan bahwa manusia secara alami adalah baik, dan bisa berubah menjadi buruk karena faktor lingkungan. Kedua, pandangan yang mengatakan bahwa manusia secara alami adalah buruk, dan bisa menjadi baik karena faktor lingkungan.[3]
B.     Pengaruh lingkungan (Penjual Minyak Wangi dan Menjual Kasturi)






“Dari Abu Burdah bin Abdullah, ia berkata: Aku mendengar Abu Burdah bin Abu Musa meriwayatkan dari bapaknya r.a. dia berkata: Rasulallah saw bersabda: “perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk adalah seperti pemilik minyak kasturi dan perapian (dapur) pandai besi; engkau tidak akan lepas dari pemilik minyak kasturi, adakalanya engkau membelinya atau mencium aromanya. Adapun perapian (dapur) pandai besi (adakalanya) membakar tubuhmu, atau rumahmu atau pakaianmu, atau engkau mencium bau tidak sedap darinya”.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’adi rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan pertemanan dengan dua contoh (yakni penjual minyak wangi dan seorang pandai besi). Bergaul bersama dengan teman yang shalih akan mendatangkan banyak kebaikan, seperti penjual minyak wangi yang akan memeberikan manfaat dengan bau harum minyak wangi. Bisa jadi dengan diberi hadiah olehnya, atau membeli darinya, atau minimal dengan duduk bersanding dengannya , engkau akan mendapat ketenangan dari bau harum minyak wangi tersebut. Kebaikan yang akan diperoleh seorang hamba yang berteman dengan orang yang shalih lebih banyak dan lebih utama daripada harumnya aroma minyak wangi. Dia akan mengajarkan kepadamu hal-hal yang bermanfaat bagi dunia dan agamamu. Dia juga akan memeberimu nasihat. Dia juga akan mengingatkan dari hal-hal yang membuatmu celaka. Di juga senantiasa memotivasi dirimu untuk mentaati Allah, berbakti kepada kedua orangtua, menyambung silaturahmi, dan bersabar dengan kekurangan dirimu. Dia juga mengajak untuk berakhlak mulia baik dalam perkataan, perbuatan, maupun bersikap. Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman dekatnya dalam tabiat dan perilakunya. Keduanya saling terikat satu sama lain, baik dalam kebaikan maupun dalam kondisi sebaliknya.
Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memeproleh kejelakan yang dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman dengan teman yang buruk memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa teman yang baik. Sebaliknya, hukuman bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185). [4]
Nilai Tarbawi dari kedua hadits di atas adalah sebagai berikut:
1.      Manusia dilahrkan dalam fitrah
BAB III
PENUTUP


           




       [1] Juwairiyah, HADIS TARBAWI, (Yogyakarta; Teras, 2010), hal, 6-8
       [2] M, Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), cet. IV, (Jakarta; Sinar Grafika Offset, 1996), hal, 88-89
       [3] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam cet II, (Jakarta: Logos, 1999). Hal. 114-116
       [4] http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/pengaruh-teman-bergaul.html diakses pada tanggal 1 november 2012.

Tidak ada komentar: