Social Icons

Pages

16 Nov 2012

Mashlahah Mursalah dan Istishhab

PENDAHULUAN

Seluruh hukum ditetapkan Allah SWT atas hamba-Nya dalam bentuk suruhan atau larangan; Adalah mengandung mashlahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari mashlahah. Seluruh suruhan Allah bagi manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik secara langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Umpamanya Allah menyuruh shalat yang mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan kebersihan jasmani.
Begitu pula dengan larangan allah untuk dijauhi manusia. Di balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Umpamanya larangan meminum minuman keras yang akan menhhindarkan seseorang dari mabuk yang dapat merusak tubuh, jiwa (mental) dan akal.
Kemaslahatn-kemaslahatan yang Allah berikan kepada hambanya itu adapat kita peroleh dengan menelaah dasar-dasar hukum Islam secara mendalam, baik itu berupa Al-Qur’an, sunnah, ijmak atau qias yang telah ada sejak dahulu.
Sulit memang dalam menentukan sebuah hukum yang tidak tertera dalam ke-empat dasar hukum Islam tersebut. Misalnya saja bila seorang mujtahid ditanya tentang hukum suatu akad atau membelanjakan harta, ia tidak menemukan nash dalam al-Qur’an maupun hadits, juga tidak ada dalil syara’ yang menyebutkan hal itu, maka dia menghukumi dengan diperbolehkannya akad atau pembelanjaannya tersebut berdasarkan pada: Asal segala sesuatu itu hukumnya mubah (boleh). Yaitu keadaan yang dijadikan dasar oleh allah dalam menciptakan semua yang ada di muka bumi. Selama tidak ada dalil yang menunjukkan perubahan, maka sesuatu itu hukumnya mubah, cara menentukan hukum seperti ini dinamakan istishab.
Berdasarkan uraian di atas, kita sedikit memperoleh gambaran tentang mashlahah dan istishhab. Untuk lebih jelasnya akan kita bahas dalam makalah ini tentang ”Mashlahah Mursalah dan Istishhab”. Dalam makalah ini pembahasannya terbatas pada pengertian, macam-macam, syarat-syarat dan kehujjahan  mashlahah mursalah maupun istishhab.




PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mashlahah
Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti “perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam ari menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti menolak kemadharatan atau kerusakan.[1]
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’  (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan mahluk-Nya.[2]
Menurut ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan di antaranya:
1.      Imam Ar-Razi mena’rifkan sebagai berikut: Mashlahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh musyari’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.
2.      Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut: Mashlahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madharat.[3]
3.      Al-Khawarizmi mena’rifkan sebagai berikut: Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.[4]
4.      Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan sebagai berikut: Mashlahah yaitu mashlahah yang ketentuan hukumnya  tidak digariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan tentang kebolehan dan tidaknya mashlahah tersebut.[5]
Dari beberpa definisi tentang mashlahah dengan rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan mengindarkan keburukan (keusakan) bagi amnesia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.[6]

B.     Macam-macam Mashlahah
a.       Ditinjau dari Segi Tingkatnnya
Mashlahah dilihat dari segi tingkatannya dapat dibedakan kepada tiga macam, yaitu:
1.      Mashlahah Daruriyah
Yaitu kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia,[7] yang apabila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.[8]
2.      Mashlahah Hajiyat
                     Adalah kemashlahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri.[9] Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat, muamalat, dan bidang jinayat.[10]
3.      Mashlahah Tahsiniyat/ Takmiliyat
Yaitu mashlahah yang sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan  budi pekerti serta keindahan saja[11], yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri dan tidak sampai tingkat hajji. [12]
b.      Ditinjau dari Segi Eksistensinya
Apabila mashlahah dilihat dari segi eksistensinya, para ulama ushul fiqih, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan membaginya kepada tiga macam, yaitu:
1.      Mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah yang didukung oleh nash secara tegas, menjelaskan dam mengakui keberadaannya.
2.      Mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang berlawanan dengan ketentuan nash. Nash menolak dan menentangnya.
3.      Mashlahah mursalah, mashlahah yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya.[13]

C.     Pengertian Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu mashlahah dan mursalah. kata mashlahah berasal dari kata kerja bahasa arab shalaha-yashlukhu menjadi sulkhan atau mashlahatan yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja arsala-yursilu-irsaalan-mursilun menjadi mursalun yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “mashlahah mursalah” yang berarti prinsip kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam. Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[14]



D.    Syarat-syarat Mashlahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan mashlahah mursalah  dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi, sehingga mashlahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan dan keinginan yang merusak manusia dan agama. Sehingga seseoramg tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari’atnya.[15]
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1.      Hendaknya kemashlahatan itu bersifat hakiki bukan bersifat imajinatif dalam arti apabila orang berkesempatan dan yang memusatkan perhatian pada itu yakin bahwa membina hukum berdasarkan kemashlahatan tersebut akan dapat menarik manfaat dan menolak madharat bagi umat manusia.[16]
2.      Berupa kemashlahatan umum, bukan kemashlahatan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka.[17]
3.      Mashlahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’.
4.      Mashlahah itu bukan mashlahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.[18]
5.      Mashlahah tersebut harus rasional (ma’qulah), yang apabila dikemukakan kepada orang-orang berakal maka mereka akan menerimanya.[19]
6.      Mashlahah mursalah itu diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup, dengan ari harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.[20]
E.     Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul di antaranya:
a.       Para ulama dari golongan Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali Imam Malik, dan dia pun tidak sependapat dengan para pengikutnya. Para ulama itu sepakat untuk tidak memakai istishlah dalam setiap kemashlahatan, kecuali dalam kemashlahatan yang penting dan khusus secara qath’i. mereka tidak menggunakannya dalam kemashlahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum, serta tidak kuat.[21]
b.      Mashlahah mursalah dapat menjadi dalil/hujjah menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
Di antara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan: Allah mengutus utusan-utusan-Nya untuk membimbing umatnya kepada kemashlahatan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemashlahatan manusia maka jelaslah bagi kita bahwa mashlahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun akhirat.[22]
·         Alasan ulama yang menjadikannya sebagai hujjah adalah sebagi berikut:
ü  kemashlahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada habisnya.
ü   orang yang ingin meneliti penetapan hukum yang dilakukan para sahabat Nabi, tabi’in dan imam-imam mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi menerapkan kemashlahatan umum.[23]
ü  Adanya pengakuan (takrir) Nabi atas penjelasan Muaz bin Jabal yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi bila tidak menemukan ayat a-Qur’an dan sunnah Nabi untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum.
ü  Adanya amaliah dan praktek yang begitu meluas dikalangan sahabat Nabi tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah diterima oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan.
ü  Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatnnya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum (syari’), maka menggunakan mashlahah tersebut berati telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
ü  Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode mashlahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan untuk hamba-Nya dan mrnjauhkan kesulitan, seperti dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah: 185.[24]
·         Alasn ulama yang tidak berhujjah dengan mashlahah mursalah adalah sebagai berikut:
ü  Syari’at itu sudah mencakup seluruh kemashlahatan manusia,baik dengan nash-nashnya maupun dengan apa yang ditunjukkan oleh kias.
ü  Penetapan hukum berdasarkan kemashlahatan umum adalah membuka kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa.[25]
ü  Mengamalkan sesuatu di luar petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-Quran maupun sunnah Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnann risalah Nabi.
ü  Menggunakan mashlahah dalam ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum.[26]




F.   Pengertian Istishab
Istishab dari segi bahasa berasal dari kata suhbah yang berarti menemani atau menyertai (tidak terpisah).[27] Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau  membandingkan sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.[28]Dalam istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya sampai ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan.[29]
Oleh karena itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau sesuatu pengelolaan yang tidak ditemukan nashnya dalam al-qur’an dan sunnah, juga tidak ditemukan dalam syara’ yang memuthlakkan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh, berdasarkan kaidah; “segala sesuatu pada asalnya adalah boleh”.[30]
Adapun arti istishab secara terminology (istilah), terdapat beberapa rumusan yang berbeda dari ulama yang memberikan definisi istishab, namun perbedaannya tidak sampai pada hal yang prinsip.
1.        Rumusan yang paling sederhana dikemukakan syekh Muhammad ridha Mudaffar dari kalangan syi’ah:”mengukuhkan apa yang pernah ada”.
2.        Al-Syaukani dalam irsyad al-Fuhul mendefinisikan: “apa yang pernah berlaku secara tetap di masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang”.
3.        Ibn al-Qayyim al-Jauziyah mengajukan definisi: “mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada”.
4.        Ibn al-Subki dalam kitab jam’u al-Jawami’ II memberikan definisi: “berlakunya sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang patut untuk mengubahnya”.
5.        Muhammad ‘Ubaidillah al-As’adi merumuskan definisi: “mengukuhkan hukum yang ditetapkan dengan suatu dalil pada masa lalu dipandang waktu ini sampai diperoleh dalil lain yang mengubahnya”.
6.        Definisi menurut Ibn al-Hummam dari kalangan ulama Hanafiyah: “tetapnya sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang tiadanya”.[31]
7.        Istishhab diartikan Hasby Ash-shidiqy dengan:”mengekalkan yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.[32]

G.  Macam-macam Istishab
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (1988:IV:56), istishab itu terbagi atas tiga macam berikut:
1.      Istishhab al-bara’ah al-ashliyah. Secara bahasa, al-bara’ah adalah bersih, maksudnya bersih atau bebas dari beban hukum. Al-ashliyah artinya menurut asalnya, maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Dengan demikian, al-bara’ah al-ashliyah adalah pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.
2.      Aistishhab al-shifat. Artinya, mengukuhkan berlakunya suatu sifat yang pada sifat itu berlaku ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubahnya hukum atau sampai ditetapkannya hukum pada masa berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi.
3.      Istishhab hukum al-ijma’. Artinya, mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama, tetapi pada masa berikutny ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan.[33]
Dilihat dari bentuknya, istishhab terbagi pada tiga macam:
a.       Istishhab yang tidak mempubyai asal. Maksudnya adalah sesuatu yang akal menetapkan bahwa hal tersebut tidak mempunyai asal, lagipula dyara’ tidak menetapkannya. Sebagai contoh “akal menetapkan bahwa shalat wajib, tidak ada enam,” dalil yang mewajibkannya.
b.      istishhab yang berbentuk ketentuan-ketentuan umum atau nash umum, sampai ada dalil yang mengkhususkannya atau dalil yang me-nasakh-nya atau yang menghapusnya. Jadi maksudnya adalah, yang menentukan berlakunya keumuman satu hukum hingga sekarang adalah dengan jalan istishhab.
c.       Istishhab yang telah ditentukan syara’, yang tetap dan kekalnya karena telah disebutkan sebabnya. Seperti tetapnya adanya kepemilikan seseorang terhadap sesuatu bila ada sebabnya, yaitu jual beli.[34]

H.  Syarat-syarat Istishab
Dalam penerapan istishab, para ulama berbeda pendapat tentang syarat yang ditentukannya.
1.      Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu. Dalam masalah seorang yang hilang tidak tahu rimbanya dan tidak diketahui hidup dan matinya, tetap dihuukmkan hidup brdasar istishab sebelum ada keterangan tentang kematiannya.
2.      Hanafiyyah dan Malikiyyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak apa saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan. Ini berarti bahwa orang yang hilang tersebut hanya mempunyai hak terhadap hak-haknya yang sudah ada. Dalam arti tidak boleh dihilangkan dari dia, tetapi ia tidak mempunyai hak baru yang belum ada sejak ia hilang. Ini berarti pula bahwa istishab bukan merupakan dalil baru yang mentsabitkan, tetapi berpegang pada asal yang sudah tsabit dan tak ada dalil yang mengubahnya.[35]

I.     Kehujjahan Istishab
Dalam menetapkan boleh atau tidaknya istishhab sebagai metode ijtihad ketika tidak ada dalil al-Qur’an dan Sunnah, Muhammad al-Syaukani mengemukakan enam pendapat ulama ushul, yaitu;
1.         Istishab dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak. Ini pendapat malikiyah, mayoritas ulama Syafi’iyah, ulama hanabillah, dan ulama zhahiriyah.
2.         Istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah karena untuk menetapkan suatu hukum harus dengan dalil. Hukum yang ditetapkan pada masa lalu tanpa dalil, tidak dapat dilestarikan sampai sekarang, dan mujtahid sekarang harus berijtihad menetapkan hukumnya dengan metode-metode lain.inilah pendapat mayoritas ulam Hanafiyah dan ulama kalam.
3.         Istishhab hanya dapat berlaku dalam hubungan seseorang mujtahid dengan Tuhannya, karena ketika seorang mujtahid tidak mendapatkan dalil suatu hukum, maka hukum yang telah ada merupakan rujukan maksimal baginya, tetapi itu hanya berlaku sebagai pegangan mujtahid itu sendiri, bukan sebagai hujjah dalam penetapan hukum.
4.         Istishhab hanya dapat diberlakukan untuk menafikan hukum suatu kasus, bukan untuk menetapkan hukumnya. Disebutkan oleh al-Kayya bahwa inilah pendapat ulama mutaakhirin hanafiyah.
5.         Istishhab hanya dapat digunakan untuk mentarjih hukum suatu kasus. Menurut Abu Ishaq, inilah pendapat yang sah dari al-Syafi’i tetapi tidak digunakan sebagai hujjah.
6.         Istishhab boleh dipakai secara mutlak untuk menafikan suatu hukum, tetapi jika dipakai untuk menetapkan hukum baru, dalam hal ini ada yang membolehkan dan ada yang memandang tidak boleh, tergantung pada bentuk istishhab yang ingin diterapkan.[36]



Argumentasi (alasan) ulama yang menjadikan istishhab sebagai hujjah adalah sebagai berikut:
1.      Firman Allah
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad):”Aku tidak menemukan..”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku.
2.       Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats! Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal; yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3.       Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal.
4.       Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
a.       Bahwa penetapan sebuah hukum pada masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
b.      Disamping itu, ketika hukum tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la yazulu/yuzalu bi al-syakk.
Argumentasi (alasan) ulama yang tidak menjadikan istishhab sebagai hujjah adalah sebagai berikut:
1.      Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab adalah sesuatu yang batil.
2.      Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.[37]






PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ø  Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Ø  mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan mengindarkan keburukan (keusakan) bagi amnesia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Ø  Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul di antaranya:
a.       Para ulama dari golongan Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah, kecuali Imam Malik, dan dia pun tidak sependapat dengan para pengikutnya. Para ulama itu sepakat untuk tidak memakai istishlah dalam setiap kemashlahatan, kecuali dalam kemashlahatan yang penting dan khusus secara qath’i. mereka tidak menggunakannya dalam kemashlahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum, serta tidak kuat.
b.      Mashlahah mursalah dapat menjadi dalil/hujjah menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama syafi’i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul.
Ø  Istishab dari segi bahasa berasal dari kata suhbah yang berarti menemani atau menyertai (tidak terpisah). Dalam istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya sampai ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan.
Ø  Perihal kehujjah istishhab terdapat dua pendapat:
a.       Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
b.      Pendapat kedua, bahwa istishhab tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
B.     Saran
Hendaknya setelah berdiskusi tentang mashlahah mursalah dan istishhab ini mahasiswa dapat berpikir lebih bijaksana dalam penentuan sebuah hukum, dapat menerima perbedaan pendapat dan dapat memberikan kemaslahatn bagi diri sendiri khususnya serta bagi masyarakat umumnya.


       [1] Amir Syarufuddin, Ushul Fiqh, jilid II, cet. II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), hlm. 323-324.
       [2] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2005), hlm. 156.
       [3] Chairul Umam, dkk, Ushul Fiqih,(Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 135-136
       [4] Amir Syarufuddin, Op. Cit., hlm. 324.
       [5] Saifuddin Zuhri, Ushul Fiqih (Akal Sebagai Sumber Hukum Islam), cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 81.
       [6] Amir Syarufuddin, Op. Cit., hlm. 325.
       [7] Ade Dedi Rohayana, Op. Cit., hlm.157.
       [8] Chairul Umam, dkk, Op. cit., hlm.138.
       [9] Amir Syarufuddin, Op. cit., hlm. 327.
       [10] Chairul Umam, dkk, Op. Cit., hlm.140.
       [11] Ade Dedi Rohayana, loc.cit., hlm.157.
       [12] Amir Syarufuddin, op. cit., hlm.328.
       [13] Ade Dedi Rohayana, op. cit., hlm.158.
       [14] Chairul Umam, dkk, op. cit., hlm.135.
       [15] Chairul Umam, dkk, op. cit., hlm.137
       [16] Saifuddin Zuhri, op. cit., hlm.102
       [17] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, cet. I, terj. Faiz el Muttaqin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 113.
       [18] Chairul Umam, dkk, op. cit., hlm. 138.
       [19] Ade Dedi Rohayana, op. cit., hlm. 164.
       [20] Amir Syarufuddin, op. cit., hlm. 337.
       [21] Ade Dedi Rohayana, op. cit., hlm. 165.
       [22] Chairul Umam, dkk, op. cit., hlm. 141-142.
       [23] Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hlm.112.
       [24] Amir Syarufuddin, op. cit., hlm. 338-339.
       [25] Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hlm.115.
       [26] Amir Syarufuddin, op. cit, hlm. 339.
       [27] Chairul Umam, dkk, op. cit., hlm.143.
       [28] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih,(_:AMZAH, 2005), hlm. 142.
       [29] Abdul Wahhab Khallaf, op. cit., hlm.121.
       [30] Ade Dedi Rohayana, op. cit.,  hlm. 168-169.
       [31] Amir Syarufuddin, op. cit., hlm. 342-343.
       [32] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin,  op. cit., hlm. 143.
       [33] Ade Dedi Rohayana, op. cit., hlm. 171-172.
       [34] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua,(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 156.
       [35] http://inmuchlis.blogspot.com/2012/02/istihsan-maslahah-mursalah-dan-istishab.html diakses pada tanggal 10 november  2012.
       [36] Ade Dedi Rohayana, op. cit., hlm. 173-174.
       [37] http://warnetdewi5.wordpress.com/kumpulan-makalah-artikel/ diakses pada tanggal 10 November 2012.

Tidak ada komentar: