PENDAHULUAN
Seluruh hukum ditetapkan Allah SWT atas hamba-Nya
dalam bentuk suruhan atau larangan; Adalah mengandung mashlahah. Tidak ada hukum syara’ yang sepi dari mashlahah. Seluruh suruhan Allah bagi
manusia untuk melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya baik secara
langsung maupun tidak. Manfaat itu ada yang dapat dirasakannya pada waktu itu
juga dan ada yang dirasakan sesudahnya. Umpamanya Allah menyuruh shalat yang
mengandung banyak manfaat, antara lain bagi ketenangan rohani dan kebersihan
jasmani.
Begitu pula dengan larangan allah untuk dijauhi
manusia. Di balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindarnya
manusia dari kebinasaan atau kerusakan. Umpamanya larangan meminum minuman
keras yang akan menhhindarkan seseorang dari mabuk yang dapat merusak tubuh,
jiwa (mental) dan akal.
Kemaslahatn-kemaslahatan yang Allah berikan kepada
hambanya itu adapat kita peroleh dengan menelaah dasar-dasar hukum Islam secara
mendalam, baik itu berupa Al-Qur’an, sunnah, ijmak atau qias yang telah ada
sejak dahulu.
Sulit memang dalam menentukan sebuah hukum yang tidak
tertera dalam ke-empat dasar hukum Islam tersebut. Misalnya saja bila seorang mujtahid
ditanya tentang hukum suatu akad atau membelanjakan harta, ia tidak menemukan
nash dalam al-Qur’an maupun hadits, juga tidak ada dalil syara’ yang
menyebutkan hal itu, maka dia menghukumi dengan diperbolehkannya akad atau
pembelanjaannya tersebut berdasarkan pada: Asal segala sesuatu itu hukumnya
mubah (boleh). Yaitu keadaan yang dijadikan dasar oleh allah dalam menciptakan semua
yang ada di muka bumi. Selama tidak ada dalil yang menunjukkan perubahan, maka
sesuatu itu hukumnya mubah, cara menentukan hukum seperti ini dinamakan istishab.
Berdasarkan uraian di atas, kita sedikit memperoleh
gambaran tentang mashlahah dan istishhab. Untuk lebih jelasnya akan
kita bahas dalam makalah ini tentang ”Mashlahah
Mursalah dan Istishhab”. Dalam makalah ini pembahasannya terbatas pada
pengertian, macam-macam, syarat-syarat dan kehujjahan mashlahah
mursalah maupun istishhab.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mashlahah
Mashlahah berasal dari kata shalaha
dengan penambahan “alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik”
lawan dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah
yaitu “manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti
“perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia”. Dalam artinya
yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam ari menarik atau
menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan atau kesenangan; atau dalam arti
menolak atau menghindarkan seperti menolak kemadharatan atau kerusakan.[1]
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara’ (Allah) adalah sifat menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan
mahluk-Nya.[2]
Menurut ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang
diberikan di antaranya:
1.
Imam Ar-Razi mena’rifkan
sebagai berikut: Mashlahah ialah perbuatan yang bermanfaat yang telah
diperintahkan oleh musyari’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang
pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya, dan harta bendanya.
2.
Imam Al-Ghazali mena’rifkan
sebagai berikut: Mashlahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak
madharat.[3]
3.
Al-Khawarizmi mena’rifkan
sebagai berikut: Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’ (dalam menetapkan
hukum) dengan cara menghindarkan kerusakan dari manusia.[4]
4.
Abdul Wahhab Khallaf
mendefinisikan sebagai berikut: Mashlahah yaitu mashlahah yang ketentuan
hukumnya tidak digariskan oleh Tuhan dan
tidak ada dalil syara’ yang menunjukkan tentang kebolehan dan tidaknya
mashlahah tersebut.[5]
Dari beberpa definisi tentang mashlahah dengan
rumusan yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa mashlahah itu
adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan
dan mengindarkan keburukan (keusakan) bagi amnesia, sejalan dengan tujuan syara’
dalam menetapkan hukum.[6]
B. Macam-macam Mashlahah
a.
Ditinjau dari Segi
Tingkatnnya
Mashlahah dilihat dari segi tingkatannya dapat dibedakan kepada tiga
macam, yaitu:
1. Mashlahah Daruriyah
Yaitu kemaslahatan yang menjadi dasar
tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia,[7]
yang apabila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan,
timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.[8]
2. Mashlahah Hajiyat
Adalah kemashlahatan yang
tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri.[9] Hajjiyah
ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan
kesempitan, dan hajjiyah ini berlaku dalam lapangan ibadah, adat,
muamalat, dan bidang jinayat.[10]
3. Mashlahah Tahsiniyat/ Takmiliyat
Yaitu mashlahah yang sifatnya untuk
memelihara kebagusan dan kebaikan budi
pekerti serta keindahan saja[11],
yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri dan
tidak sampai tingkat hajji. [12]
b.
Ditinjau dari Segi
Eksistensinya
Apabila mashlahah dilihat dari segi eksistensinya, para ulama ushul
fiqih, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan membaginya kepada tiga
macam, yaitu:
1. Mashlahah mu’tabarah, yaitu mashlahah yang didukung oleh nash
secara tegas, menjelaskan dam mengakui keberadaannya.
2. Mashlahah mulghah, yaitu mashlahah yang berlawanan dengan
ketentuan nash. Nash menolak dan menentangnya.
3. Mashlahah mursalah, mashlahah yang secara eksplisit tidak ada
satu dalil pun baik yang mengakuinya maupun yang menolaknya.[13]
C. Pengertian Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua
kata, yaitu mashlahah dan mursalah. kata mashlahah berasal dari kata kerja bahasa arab shalaha-yashlukhu menjadi sulkhan
atau mashlahatan yang berarti
sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja arsala-yursilu-irsaalan-mursilun menjadi mursalun yang berarti diutus,
dikirim atau dipakai (dipergunakan).
Perpaduan dua kata menjadi “mashlahah mursalah” yang berarti prinsip
kemashlahatan (kebaikan) yang dipergunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam.
Juga dapat berarti, suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).[14]
D. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah
Golongan yang mengakui kehujjahan mashlahah mursalah dalam
pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang
harus dipenuhi, sehingga mashlahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan
dan keinginan yang merusak manusia dan agama. Sehingga seseoramg tidak
menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan
menjadikan syahwatnya sebagai syari’atnya.[15]
Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
1.
Hendaknya kemashlahatan itu
bersifat hakiki bukan bersifat imajinatif dalam arti apabila orang
berkesempatan dan yang memusatkan perhatian pada itu yakin bahwa membina hukum
berdasarkan kemashlahatan tersebut akan dapat menarik manfaat dan menolak
madharat bagi umat manusia.[16]
2.
Berupa kemashlahatan umum,
bukan kemashlahatan pribadi. Artinya, penetapan hukum syara’ itu dalam
kenyataannya dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia atau menolak
bahaya dari mereka, bukan bagi perorangan atau bagian kecil dari mereka.[17]
3.
Mashlahah itu harus sejalan
dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’.
4.
Mashlahah itu bukan
mashlahah yang tidak benar, dimana nash yang sudah ada tidak membenarkannya,
dan tidak menganggap salah.[18]
5.
Mashlahah tersebut harus
rasional (ma’qulah), yang apabila
dikemukakan kepada orang-orang berakal maka mereka akan menerimanya.[19]
6.
Mashlahah mursalah itu
diamalkan dalam kondisi yang memerlukan, yang seandainya masalahnya tidak
diselesaikan dengan cara ini, maka umat akan berada dalam kesempitan hidup,
dengan ari harus ditempuh untuk menghindarkan umat dari kesulitan.[20]
E. Kehujjahan Mashlahah Mursalah
Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul di antaranya:
a.
Para ulama dari golongan
Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada
istishlah, kecuali Imam Malik, dan dia pun tidak sependapat dengan para
pengikutnya. Para ulama itu sepakat untuk tidak memakai istishlah dalam setiap
kemashlahatan, kecuali dalam kemashlahatan yang penting dan khusus secara
qath’i. mereka tidak menggunakannya dalam kemashlahatan yang tidak penting,
tidak berlaku umum, serta tidak kuat.[21]
b.
Mashlahah mursalah dapat
menjadi dalil/hujjah menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama syafi’i,
tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama
ushul.
Di antara ulama yang paling banyak
melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan:
Allah mengutus utusan-utusan-Nya untuk membimbing umatnya kepada kemashlahatan.
Kalau memang mereka diutus demi membawa kemashlahatan manusia maka jelaslah
bagi kita bahwa mashlahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara’/agama
mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia baik dunia maupun
akhirat.[22]
·
Alasan ulama yang
menjadikannya sebagai hujjah adalah sebagi berikut:
ü kemashlahatan umat manusia itu selalu baru dan tidak ada
habisnya.
ü orang yang ingin meneliti
penetapan hukum yang dilakukan para sahabat Nabi, tabi’in dan imam-imam
mujtahid akan jelas bahwa banyak sekali hukum yang mereka tetapkan demi
menerapkan kemashlahatan umum.[23]
ü Adanya pengakuan (takrir) Nabi atas penjelasan Muaz bin Jabal
yang akan menggunakan ijtihad bi al-ra’yi
bila tidak menemukan ayat a-Qur’an dan sunnah Nabi untuk menyelesaikan
sebuah kasus hukum.
ü Adanya amaliah dan praktek yang begitu meluas dikalangan sahabat
Nabi tentang penggunaan mashlahah mursalah sebagai suatu keadaan yang sudah
diterima oleh para sahabat tanpa saling menyalahkan.
ü Suatu mashlahah bila telah nyata kemashlahatnnya dan telah
sejalan dengan maksud pembuat hukum (syari’), maka menggunakan mashlahah
tersebut berati telah memenuhi tujuan syar’i, meskipun tidak ada dalil khusus
yang mendukungnya.
ü
Bila dalam keadaan tertentu
untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode mashlahah mursalah, maka
akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki
kemudahan untuk hamba-Nya dan mrnjauhkan kesulitan, seperti dijelaskan dalam
Q.S. Al-Baqarah: 185.[24]
·
Alasn ulama yang tidak
berhujjah dengan mashlahah mursalah adalah sebagai berikut:
ü
Syari’at itu sudah mencakup
seluruh kemashlahatan manusia,baik dengan nash-nashnya maupun dengan apa yang
ditunjukkan oleh kias.
ü
Penetapan hukum berdasarkan
kemashlahatan umum adalah membuka kesempatan hawa nafsu manusia, seperti para
pemimpin, penguasa, ulama pemberi fatwa.[25]
ü
Mengamalkan sesuatu di luar
petunjuk syara’ berarti mengakui akan kurang lengkapnya Al-Quran maupun sunnah
Nabi. Hal ini juga berarti tidak mengakui kesempurnann risalah Nabi.
ü
Menggunakan mashlahah dalam
ijtihad tanpa berpegang pada nash akan mengakibatkan munculnya sikap bebas
dalam menetapkan hukum yang dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama
hukum.[26]
F. Pengertian Istishab
Istishab dari
segi bahasa berasal dari kata suhbah yang
berarti menemani atau menyertai (tidak terpisah).[27]
Atau diartikan dengan minta bersahabat, atau membandingkan
sesuatu dan mendekatkannya, atau pengakuan adanya perhubungan atau mencari
sesuatu yang ada hubungannya.[28]Dalam
istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya
sampai ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum
sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya
perubahan.[29]
Oleh karena itu, apabila seorang mujtahid ditanya
tentang hukum kontrak atau sesuatu pengelolaan yang tidak ditemukan nashnya
dalam al-qur’an dan sunnah, juga tidak ditemukan dalam syara’ yang memuthlakkan
hukumnya, maka hukumnya adalah boleh, berdasarkan kaidah; “segala sesuatu pada asalnya adalah boleh”.[30]
Adapun arti istishab
secara terminology (istilah), terdapat beberapa rumusan yang berbeda dari
ulama yang memberikan definisi istishab, namun
perbedaannya tidak sampai pada hal yang prinsip.
1.
Rumusan yang paling
sederhana dikemukakan syekh Muhammad ridha Mudaffar dari kalangan syi’ah:”mengukuhkan apa yang pernah ada”.
2.
Al-Syaukani dalam irsyad al-Fuhul mendefinisikan: “apa yang pernah berlaku secara tetap di masa
lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang”.
3.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
mengajukan definisi: “mengukuhkan
menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada”.
4.
Ibn al-Subki dalam kitab jam’u al-Jawami’ II memberikan definisi:
“berlakunya sesuatu pada waktu kedua
karena yang demikian pernah berlaku pada waktu pertama karena tidak ada yang
patut untuk mengubahnya”.
5.
Muhammad ‘Ubaidillah
al-As’adi merumuskan definisi: “mengukuhkan
hukum yang ditetapkan dengan suatu dalil pada masa lalu dipandang waktu ini
sampai diperoleh dalil lain yang mengubahnya”.
6.
Definisi menurut Ibn
al-Hummam dari kalangan ulama Hanafiyah: “tetapnya
sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang tiadanya”.[31]
7.
Istishhab diartikan Hasby Ash-shidiqy dengan:”mengekalkan yang telah ada atas keadaan yang telah ada, karena tidak
ada yang mengubah hukum, atau karena sesuatu hal yang belum diyakini.[32]
G. Macam-macam Istishab
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in (1988:IV:56),
istishab itu terbagi atas tiga macam berikut:
1. Istishhab al-bara’ah
al-ashliyah. Secara bahasa, al-bara’ah
adalah bersih, maksudnya bersih atau bebas dari beban hukum. Al-ashliyah artinya menurut asalnya,
maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang
menetapkan hukumnya. Dengan demikian,
al-bara’ah al-ashliyah adalah pada
dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang
menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.
2. Aistishhab al-shifat. Artinya,
mengukuhkan berlakunya suatu sifat yang pada sifat itu berlaku ketentuan hukum,
baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami
perubahan yang menyebabkan berubahnya hukum atau sampai ditetapkannya hukum
pada masa berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi.
3. Istishhab hukum al-ijma’. Artinya,
mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma’ ulama,
tetapi pada masa berikutny ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut
karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan.[33]
Dilihat dari bentuknya, istishhab
terbagi pada tiga macam:
a. Istishhab yang tidak
mempubyai asal. Maksudnya adalah sesuatu yang akal menetapkan bahwa hal
tersebut tidak mempunyai asal, lagipula dyara’
tidak menetapkannya. Sebagai contoh “akal menetapkan bahwa shalat wajib,
tidak ada enam,” dalil yang mewajibkannya.
b. istishhab yang
berbentuk ketentuan-ketentuan umum atau nash umum, sampai ada dalil yang
mengkhususkannya atau dalil yang me-nasakh-nya
atau yang menghapusnya. Jadi maksudnya adalah, yang menentukan berlakunya
keumuman satu hukum hingga sekarang adalah dengan jalan istishhab.
c. Istishhab yang telah
ditentukan syara’, yang tetap dan kekalnya
karena telah disebutkan sebabnya. Seperti tetapnya adanya kepemilikan seseorang
terhadap sesuatu bila ada sebabnya, yaitu jual beli.[34]
H. Syarat-syarat Istishab
Dalam penerapan istishab, para ulama berbeda pendapat tentang
syarat yang ditentukannya.
1.
Syafi’iyyah dan Hanabillah
serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru
timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
Dalam masalah seorang yang hilang tidak tahu rimbanya dan tidak diketahui hidup
dan matinya, tetap dihuukmkan hidup brdasar istishab sebelum ada keterangan
tentang kematiannya.
2.
Hanafiyyah dan
Malikiyyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak apa saja dan
tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak,
tetapi tidak untuk mentsabitkan. Ini berarti bahwa orang yang hilang tersebut
hanya mempunyai hak terhadap hak-haknya yang sudah ada. Dalam arti tidak boleh
dihilangkan dari dia, tetapi ia tidak mempunyai hak baru yang belum ada sejak
ia hilang. Ini berarti pula bahwa istishab bukan merupakan dalil baru yang
mentsabitkan, tetapi berpegang pada asal yang sudah tsabit dan tak ada dalil
yang mengubahnya.[35]
I. Kehujjahan Istishab
Dalam menetapkan boleh atau tidaknya istishhab sebagai
metode ijtihad ketika tidak ada dalil al-Qur’an dan Sunnah, Muhammad
al-Syaukani mengemukakan enam pendapat ulama ushul, yaitu;
1.
Istishab dapat dijadikan
sebagai hujjah secara mutlak. Ini pendapat malikiyah, mayoritas ulama
Syafi’iyah, ulama hanabillah, dan ulama zhahiriyah.
2.
Istishhab tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah karena untuk menetapkan suatu hukum harus dengan
dalil. Hukum yang ditetapkan pada masa lalu tanpa dalil, tidak dapat
dilestarikan sampai sekarang, dan mujtahid sekarang harus berijtihad menetapkan
hukumnya dengan metode-metode lain.inilah pendapat mayoritas ulam Hanafiyah dan
ulama kalam.
3.
Istishhab hanya dapat
berlaku dalam hubungan seseorang mujtahid dengan Tuhannya, karena ketika
seorang mujtahid tidak mendapatkan dalil suatu hukum, maka hukum yang telah ada
merupakan rujukan maksimal baginya, tetapi itu hanya berlaku sebagai pegangan
mujtahid itu sendiri, bukan sebagai hujjah dalam penetapan hukum.
4.
Istishhab hanya dapat
diberlakukan untuk menafikan hukum suatu kasus, bukan untuk menetapkan
hukumnya. Disebutkan oleh al-Kayya bahwa inilah pendapat ulama mutaakhirin
hanafiyah.
5.
Istishhab hanya dapat
digunakan untuk mentarjih hukum suatu kasus. Menurut Abu Ishaq, inilah pendapat
yang sah dari al-Syafi’i tetapi tidak digunakan sebagai hujjah.
6.
Istishhab boleh dipakai
secara mutlak untuk menafikan suatu hukum, tetapi jika dipakai untuk menetapkan
hukum baru, dalam hal ini ada yang membolehkan dan ada yang memandang tidak
boleh, tergantung pada bentuk istishhab yang ingin diterapkan.[36]
Argumentasi (alasan) ulama yang menjadikan istishhab
sebagai hujjah adalah sebagai berikut:
1.
Firman Allah
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan dalam apa yang
diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali jika adalah
bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi...” (al-An’am:145)
Ayat ini –menurut mereka menunjukkan
bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil
yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah:
“Katakanlah (wahai Muhammad):”Aku tidak menemukan..”. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang
berlaku.
2.
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya syetan mendatangi salah
seorang dari kalian (dalam shalatnya) lalu mengatakan: ‘Engkau telah berhadats!
Engkau telah berhadats!’ Maka (jika demikian), janganlah ia meninggalkan
shalatnya hingga ia mendengarkan suara atau mencium bau.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini, Rasulullah saw
memerintahkan kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai
mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) bila syetan membisikkan keraguan
padanya bahwa wudhu’nya telah batal. Bahkan Rasulullah melarangnya untuk
meninggalkan shalatnya hingga menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal;
yaitu mendengar suara atau mencium bau. Dan inilah hakikat istishhab itu.
3.
Ijma’.
Para pendukung pendapat ini menyatakan
bahwa ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar
istishhab. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika
seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat,
karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum
bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka
dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah
bersuci dan kesucian itu belum batal.
4.
Dalil ‘aqli.
Diantara dalil ‘aqli
atau logika yang digunakan oleh pendukung pendapat ini adalah:
a.
Bahwa penetapan sebuah hukum pada
masa sebelumnya dan tidak adanya faktor yang menghapus hukum tersebut membuat
dugaan keberlakuan hukum tersebut sangat kuat (al-zhann al-rajih). Dan dalam
syariat Islam, sebuah dugaan kuat (al-zhann al-rajih) adalah hujjah, maka
dengan demikian istishhab adalah hujjah pula.
b.
Disamping itu, ketika hukum
tersebut ditetapkan pada masa sebelumnya atas keyakinan, maka penghapusan hukum
itu pun harus didasarkan atas keyakinan, berdasarkan kaidah al-yaqin la
yazulu/yuzalu bi al-syakk.
Argumentasi (alasan) ulama yang tidak menjadikan istishhab
sebagai hujjah adalah sebagai berikut:
1.
Menggunakan istishhab
berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan
yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhab
adalah sesuatu yang batil.
2.
Istishhab akan menyebabkan
terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka
ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum
atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang
bertentangan dengan itu atas dasar istishhab pula.[37]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ø Mashlahah berasal dari kata shalaha dengan penambahan
“alif” di awalnya yang secara arti kata berarti “baik” lawan dari kata “buruk”
atau “rusak”. Ia adalah mashdar dengan arti kata shalah yaitu “manfaat”
atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Ø mashlahah itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh
akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan mengindarkan keburukan (keusakan)
bagi amnesia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum.
Ø Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat
di kalangan ulama ushul di antaranya:
a.
Para ulama dari golongan
Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada
istishlah, kecuali Imam Malik, dan dia pun tidak sependapat dengan para
pengikutnya. Para ulama itu sepakat untuk tidak memakai istishlah dalam setiap
kemashlahatan, kecuali dalam kemashlahatan yang penting dan khusus secara
qath’i. mereka tidak menggunakannya dalam kemashlahatan yang tidak penting,
tidak berlaku umum, serta tidak kuat.
b.
Mashlahah mursalah dapat
menjadi dalil/hujjah menurut sebagian ulama Maliki dan sebagian ulama syafi’i,
tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama
ushul.
Ø Istishab dari segi
bahasa berasal dari kata suhbah yang
berarti menemani atau menyertai (tidak terpisah). Dalam
istilah ahli ushul adalah menghukumi sesuatu dengan keadaan seperti sebelumnya
sampai ada dalil yang menunjukkan perubahan keadaan itu atau menjadikan hukum
sebelumnya tetap menjadi hukum sampai ada dalil yang menunjukkan adanya
perubahan.
Ø
Perihal kehujjah istishhab terdapat dua pendapat:
a.
Pendapat pertama, bahwa istishhab
adalah dalil (hujjah) dalam penetapan ataupun penafian sebuah hukum. Pendapat
ini didukung oleh Jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabilah, mayoritas
ulama Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah.
b.
Pendapat kedua, bahwa istishhab
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum
ataupun menafikannya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama Hanafiyah.
B. Saran
Hendaknya setelah berdiskusi tentang mashlahah mursalah dan istishhab ini mahasiswa dapat berpikir
lebih bijaksana dalam penentuan sebuah hukum, dapat menerima perbedaan pendapat
dan dapat memberikan kemaslahatn bagi diri sendiri khususnya serta bagi
masyarakat umumnya.
[35] http://inmuchlis.blogspot.com/2012/02/istihsan-maslahah-mursalah-dan-istishab.html
diakses pada tanggal 10 november 2012.
[37] http://warnetdewi5.wordpress.com/kumpulan-makalah-artikel/ diakses pada tanggal 10 November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar