Social Icons

Pages

24 Mei 2012

HERMENEUTIKA

HERMENEUTIKA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliyah Hermeneutika
Dosen Pengampu : Kurdi Msi























Disusun Oleh
Khaerul Abidin NIM 2031110008




Jurusan Ushuluddin
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pekalongan
2012





                  Pendahuluan
            
Hermeneutika tergolong disiplin ilmu baru dalam diskursus ulum Al-Qur'an. Kehadirannya mengundang kecurigaan dan tanda Tanya di kalangan para pemikir muslim terutama dari golongan konserfatif. Tidask jelas alasan dari penolakan ini, namun balutan emosional dan sentimen yang berlebihan tetrhadap barat ditengarai sebagai salah satu penyebabnya. Karena hermeneutika lahir dan tumbuh di barat.
Cara kerja hermeneutika tidak jauh berbeda dengan tafsir dalam islam bahkan sebagian sarjana muslim menyebutnya sebagai sesuatu yang sama namun dalam balutan baju yang berbeda. Memang antara hermeneutika dengan tafsir tidak dapat dipersamakan dalam semua hal namun keduanya memiliki peran yang sama yaitu membantu pembaca memperoleh pemahaman yang seobyektif mungkin dari teks yang di baca.
Karena melalui pembacaan yang obyektif inilah seorang pembaca dapat mengetahui pesan yang di sampaikan oleh teks yang dia baca atau memahami apa yang dikehendaki oleh penggagas/pengarang teks.
Karena belakangan ini kesadaran akan pembacaan yang obyektif terus menjadi isu santer yang berhembus dikalangan cendekiawan muslim. Salah satu tokoh muslim yang mengajak pada pembacaan teks secara obyektif adalash Muhammad Abid al-Jabiri. Melalui karya-karyanya yang berbicara mengenai Al-Qur'an ide-ide tersebut beliau jabarkan.




HERMENEUTIKA AL-QUR'AN MUAHAMMAD ABID AL-JABIRI

1. Latar Belakang Sosial dan Intelektual Al-Jabiri
Muhammad Abid al-jabiri lahir pada tanggal 27 desember 1953 di Firguig, Maroko tenggara. Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang mendukung partai Istiqlal, sebuah partai yang memperjuangkan kemerdekaan dan kesatuan Maroko yang pada waktu itu berada dalam koloni Perancis dan Spanyol. Ia mengenyam pendidikan secara formal untuk pertama kalinya di madrasah Hurrah al- Wathaniyyah sekolah suwasta nasionalis yang didirikasn oleh gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951-1953 ia belajar di sekolah lanjutan milik pemerintah di Casablanca setelah Maroko merdeka ia melanjutkan setudinya pada pendidikan tinggi setingkat diploma pada sekolah tinggi Arab dalam bidang Ilmu Pengetahuan1.
Sebelum berkelut dalam bidang akademis, Al-jabiri terlihat aktif dalam percaturan politik Nasional negaranya. Ia bergabung dengan seorang politikus ulung bernama Mehdi, B Barka, pemimpin partai sayap kiri partai istiklal yang kemudian mendirikan Union Natinal Des forces Popularies (UNDP) dan kemudian berubah menjadi Union Socialeste Des forces Popularizes (USDP) ditengah-tengah padatnya aktifitas politik yang dijalanya pada tahun 1959 ia memulai setudi di Filsafat Damaskus, Siriya setahun.kemudian ia masuk di Unifersitas Rabab yang baru didirikan. Ia dan kawan-kawanya UNDP diceploskan ke penjara pada bulan juli 1964 atas tuduhan konsfiransi melawan Negara. Namun pada tahun itu juga ia dikeluarkan dari penjara. Sekeluar dari penjara ia mengajar di sekolah lanjutan atas dan aktif di bidang perencanaan dan efaluasi pendidikan. Pada tahun 1967 ia menyelesaikan ujianya dan selanjutnya mengajar di Universiti of Muhammad V Rabat. Seluruh pendidikan formalnya di akhiri pada tahun 1970 dengan menyandang gelar Doktor. Kondisi social politik dunia Arab pada tahun-tahun dimana Al-jabiri sedang bergulat dengan dinamika pemikiran intelektual, sedang dalam goncangan oleh berbagai persoalan yang dimunculakan oleh kaum moderanitas wacana modernitas dipicu oleh daya tarik dan superioritas barat dalam berbagi bidang kehidupan. Kekalahan Arab atas Israel semakin mempertegas keraguan mereka untuk mempertanyakan ulang tentang masa ke emasan kerajaan Islam Arab klasik. Peroblematika tersebut menjadikan para pemikir Arab terpolarisasi pada dua sisi extrim dalam menyikapinya. Dan kebanyakan mereka mengambil sikap Eklektisme yaitu menggabungkan apa yang kelihatan positif dalam dua bentuk puilihan tersebut.
Al-jabiri termasuk dalam golongan pemikir Arab yang melakukan eklektisme dalam mensikapi modernitas. Dalam artian, menggabungkan antar modernitas dan autensitas tradisi yang bersumber dari islam sehingga ia tidak dimasukan seagai tokoh Reolusioner pemikiran arab. Namun lebih cocok disebut sebagai pemikir Refornistik.

2. Corak dan Akar Pemikiran Al-Jabiri
Pada awalnya, al-jabiri adalah seorang pengagum berat pemikiran Karl Marx Setidaknya ada dua alasan yang melatar belakangi dua hal ini.pertama, karena pemikiran-pemikiran Marxisme sedang tumbuh dengan suburnya di Arab. Dan kedua adalah karena afiliasi politik al-jabiri terhadap politik yang memiliki semangat radikal. Kekaguman al-jabiri terhadap pemikiran Karl Marx bisa juga di sebabkan oleh akses bacaan terhadap karya-karya berbahasa perancis.
Namun, kekaguman al-jabiri terhadap Karl Marx berangsur hilang setelah ia membaca karya Yves Ia Coste tentang Ibnu Khaldun. Hal ini terjadi pada tahun 60an ketika di Perancis Yves Ia Coste menulis tentang Ibnu Khaldun sebagai reaksi terhadap Markisme, paling tidak terhadap konsep materialisme historis Karl Marx. Mulai saat itu intensitas membacanya terhadap pemikiran Ibnu Khaldun menjadi semakain tinggi. Ia membanding-bandingkan evektifitas terhadap kajian sejarah keislaman melalui perspektif Marxian dengan Khaldunian. Yang kemudian di teruskannya dengan menulis Al-Ashabia Wa Al-Daulah Haula Fiker Ibn khaldun2.
Turats adalah produk material dan pemikiran yang ditinggalkan oleh generasi terdahulu kepada generasi sesudahnya. Tradisi dipahami sebagai hasil ciptaan manusia dan produk kreativitas sadar manusia dalam episode sejarah silih berganti. Modernitas adalah inteaksi manusia dengan produk material dan pemikiran kotemporer yang dicapai manusia.3
Turats di kalangan pemikir Arab selalu di sandingkan dengan Hadatsah (modernitas) karena problem antara Turats dan Hadatsah inilah yang mendominasi wacana pemikiran Arab kontemporer. Sebagai pemikir yang berkecimpung dalam tradisi, tak mengherankan jika al-jabiri begitu berkepentingan untuk meneusuri akar tradisi yang membentuk akar nalar arab. Turats kemudian menjadi gerbang bagi al-jabiri untuk memasuki pemikiran Arab.
Menurut Al-Jabiri Turats bukanlah sisa-sisa atau warisan kebudayaan atau peninggalan masa lampau, tetapi adalah penyempunaan akan kesatuan dan ruang lingkup kultur yang terdiri atas doktrin agama atau syari'ah, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, kerinduan dan harapan. Turats dengan demikian berdiri sebagai satu kesatuan dalam seluuh kebudayaan islam.
Al-Jabiri memandang bahwa tawaran antara turats dan hadatsah bukanlah soal pilihan. Baginya tradisi dan medernitas datang begitu saja dihadapan kita tanpa ada kuasa bagi kita untuk memilihnya. Kita tidak pernah disuruh untuk memilih salah satunya ataupun meninggalkan kedua-duanya. Maka bagi Al-Jabiri yang terpenting adalah bersikap kritis terhadap keduanya
.

3. Tentang al-Qur'an dan Pembacaan Teks
A . Redifinisi al-Qur'an
Secara etimologis banyak ragam definisi diajukan untuk menyibak makna kata al-Qur'an. Ada yang menyatakan bahwa kata القراءن merupakan makna yang ghairu mahmuz (kata yang tidak terdapat huuf hamzah dalam huruf-huruf pembentuknya), yakni القراءن yang secara otomatis menafiakn bahwa ia berasal dari kata القراءة . Sebaliknya ada pula yang menyatakan bahwa kata القراءن tersebut memang kata yang mahmuz dimana lafadz tersebut disifatkan pada kat فعلا ن dan musytaq dari kata القرء dengan makna mengumpulkan.
Menurut Al-Jabiri, penakwilan-penakwilan tersebut jauh dari makna dzahir kalimah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab bahsa, bahwa al-Qur'an secara bahasa berasal dariيقراء-قراءة-وقراء نا-قراء Pendapat inilah yang oleh Al-Jabiri dianggap sesuai dengan ayat yang pertama kali diturunkanاقراء باسم ربك dengan Nabi sebagai mukhatabnya dan kemudian dijawab dengan ماذاقراء Pendapat ini disandarkan pada ayat Qs. Al-Qiyamah(75):16-19. I'tibar yang dieoeroleh dari ayat tersebut adalah bahwa kata "al-Qur'an" merupakan padanan kata القراءة dan القلاوت4 .
Dalam memberikan definisi al-Qur'an, Al-Jabiri mencobaberada pada posisi netral yang tidak bertendensi pada salah satu dai definisi-definisi yang telah ada, karena dalam pandangan Al-Jabiri setiap defiisi tersebut memuat tujuan-tujuan yang bersifat ideologis, dari madzab tertentu dan terselubung fanatisme kelompok. Agar tidak terjebak pada rutinitas dogmatis, lanjut Al-Jabiri, pada dasrnya al-Qur'an telah memberikan sebuah definisi secara holistic mengenai dirinya sendiri. Definisi tersebut setidaknya, telah tertuang dalam Qs. Al-Syu'ara (26):192-196.
Definisi yang terungkap dari ayat-ayat tersebut setidaknya termuat dalam dua proposisi; proposisi histories yang ditunjukan oleh ayat 194(بلسان عربي مبين ) dan proposisi azaliyah, a histories, yang ditunjukan pada ayat terakhir 196 ( الاولين وانه لفي زبر ) . Al-zubur dalam ayat tersebut adalah الكتاب , yakni kitab-kitab samawi terdahulu. Diantara kedua ayat tersebut nampak adanya sentuhan sisi eksternal al-Qur'an dengan ruang dan waktu. Adapun yang terungkap dari ketiga ayat ebelumnya dapat dimengerti sebagai berikut: تنزيل من ربالعالمين menunjukan a-Qur'an adalah teks ilahiyah, نزل به روح الامبن menunjukan eksitensi malaikat Jibrilsebagai pembawa al-Qur'an dari sisi Allah kedalam sanubari Muhammad, sebagai rasul menyampaian risalah dengan menggunakan bahasa Arab.
Jadi yang dimakssud dengan al-Qur'an adlah wahyu dai Allah yang dibawa malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab, termasuk dalam jenis wahyu yang termaktub dalam kitab-kitab rasul terdahulu. Dai defines ini setidaknya terdapat tiga sisi penambhan ; pertama bahwa (esensi) al-Qu'an bukanlah hal yang sama sekali baru, melainkan kontinuitas Tuhan kepada manusia . Kedua penyampaian wahyu tersebut merupakan peristiwa ruhani. Dan ketiga al-Qur'an merupakan risalah yang menjadikan pembawanya yang menjelaskan kepada manusia atas yang haq dan yang batil5.
B . Pembacaan Teks
Fenomena Bahasa al-Qur'an
Bagi Al-Jabiri, bahasa bukan hanya sebagai alat berfikir tetapi lebih dari itu, dai bahasalah pemikiran terbentuk. Bahasa tidak hanya membatasi pandangan manusia tentang alam tetapi juga telah menjadi pembatas dan mbentuk garis-garis lengkap bagi setiap pengetahuan manusia.
Sebuah system bahsa (bukan hanya sisitem kosokata tetapi juga system gramatikal dan semantiknya) punya pengaruh yang signifikan dalam cara pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsirkan dan menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi car dan berfikir mereka.
Wajar jika al-Qur'an disebut "kitab al-arabi al-mubin" dimana bagian-bagiannya menggunakna bahasa Arab. Karena tidak mungkin al-Qur'an diturunkan selain bahasa Arab yang tidak dipahami oleh pemikiran Arab. Bukankah al-Qur'an dikodifikasikan dan diperkenalkan system gramatikalnya pada masa tadwin, masa mulai diperkenalkan metodologi berfikir Islam pada saat itu. Ini menunjukan bahwa bahasa mengalami perkembangan, perkembangan yang tanpa sadar memberikan makna baru bagi al-Qur'an, Sehingga sudah menjadi kewajiban untuk mengetahui realitas social cultural pada saat itu untuk mendapatkan makna hakiki dari teks al-Qur'an itu sendiri.
Jika dijabarkan lebih luas lagi, teks dapat disebut sebagai fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiw wacana lisan tukar pendapat atau pemikiran. Atau dalam bahasa Al-Jabiri disebut dengan maqul al-kitab wa maqru qari. Yakni pesan yang disampaikan penulis dalam teksnya dan makna pesan yang diterima oleh pembacanya. Artinya teks adalah perubahan berkehendak dari oral menuju tulis karena ingin mendokumentasikan sebagai upaya transformasi dari deversitas menuju kesatuan, dari perbedaan menuju kesepakatan. Jadi teks bukanlah dokumenyang lenih dekat kepada tumpukan atau catatan kuno, tetapi adalah realitas hidup dalam kehendak diam dan akan bangkit melalui pembacaan sehingga hidup kembali dalam bentuk yang baru.
Al-Jabiri mengajarkan sebagai mana teks yang benar dan obyektif, hingga ia mewanti-wanti dwngan "harus menghindari membaca makna sebelum kata-kata" karena kata-kata dipahami sebagai unsure dalam jaringan relasi-relasi dan bukan sebagai himpunan kosokata yang berdiri sendiridari makna semantiknya. Karena itu pembacaan itu harus membebaskandari asumsi-asumsi apriori terhadap teks dan juga dari keinginan-keinginan masa kini. Dalam memca teks yang harus difokuskan adalah menimba makna teks dari teks itu sendiri, yakni dalam setrukturnya sebagai jaringan yang terbentuk diantara unsur-unsurnya6.
Tawaran Metodologis
Al-Jabiri menawarkan pembacaan yang obyektif dan rasional terhadap teks disertai dengan ungkapan "menjadikan bacaan kontemporer untuk dirinya dan kontemporer untuk kita. Dari unkapan tersebut terkandung dua konsep pembaca, yakni konsep al-fashl demi menjawab objektitas dan al washl yang digunakan untuk mengatasi problem rasiaonalitas.

4. Menjadikan al-Qur'an Kontemporer Sepanjang Masa
Al-Qur'an merupakan kitab yang tidak bisa dipahami dengan cara sebagaiman membaca surat kabar atau novel. Al-Qur'an adalah kitab yang kaya akan muatan sejarah. OLeh karena itu untuk berinteraksi dengan al-Qur'an, seseorang membutuhkan pengetahuan tentang historisitas tradisi budaya keilmuan arab-islam.
Pembacaan obyektif dan rasioal yang telah ditawarkan Al-Jabiri sebelumnya dalam ranah pembacaan terhadap teks pun pada akhirnya tetap dipegang teguh ketika dihadapkan pada al-Qur'an. Bagi Al-jabiri, dikarenakan al-Qur'an menyeru kepada manusia disetiap zaman dan tempat sehingga diperlukan pembaharuan dalm memahami al-Qur'an disetiap masa. Namun erangkat dari pernyataan tersebut, Al-Jabiri tidak serta merta menawarkan langkah-langkah metodis dalam pemahaman al-Qur'an. Yang terpenting baginya adalah bagaimana menjadikan al-Qur'an kontemporer pada zamannya dan sekaligus kontemporer untuk kita dalam kondisi kekiniannya. Konsep al-fashl dan al-washl tetap dipakai demi pembacaan al-Qur'an yang obyektif dan raional, namun dalam bingkai yang khusus kaena al-Qur'an "bukan dari turats"7.















Penutup
Makna al-Qur'an menurut Al-Jabiri adalah wahyu dari Allah, yang dibawa Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahsa Arab, termasuk dalam jenis wahyu termaktub dalamkitab rasul terdahulu. Al-Qur'an memiliki dua sisi, histories dan a histories. Historitas al-Qur'an dilihat dari – salah satunya – bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Arab. Dengan demikian keterpengaruhan budaya dalam bahasa yang digunakan al-Qur'an adlah sesuatu yang tidak dapat dinafikan.
Al-Jabiri menyarankan kepada pembacaan yang obyektif melalui pembacaan kata sebelum makna. Dalam hal ini kepentingan idiologis pembaca harus diletakan ketika berhadapan dengan bacaan. Al-Jabiri menyadari bahwa pembacaan yang berorientasi pada obyektifitas semata akan tidak memberikan kontribusi bagi kekinian pembaca. Karenanya agar teks selalulu dinamis dan kontemperer bagi pembaca, rasionalitas diberikan ruang geraknya.




DAFTAR PUSTAKA

Kurdi ,dkk. HERMENEUTIKA AL-QUR'AN DAN HADITS , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010
Dr. Ir. M. Shahrur. Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur'an Kotemporer, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2008
1Kurdi ,dkk. HERMENEUTIKA AL-QUR'AN DAN HADITS , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010
2Kurdi ,dkk. HERMENEUTIKA AL-QUR'AN DAN HADITS , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010
3 Dr. Ir. M. Shahrur. Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur'an Kotemporer, Yogyakarta : eLSAQ Press, 2008

4 Kurdi ,dkk. HERMENEUTIKA AL-QUR'AN DAN HADITS , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010
5 Kurdi ,dkk. HERMENEUTIKA AL-QUR'AN DAN HADITS , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010
65 Kurdi ,dkk. HERMENEUTIKA AL-QUR'AN DAN HADITS , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010
76 Kurdi ,dkk. HERMENEUTIKA AL-QUR'AN DAN HADITS , Yogyakarta : eLSAQ Press, 2010

Tidak ada komentar: