HERMENEUTIKA
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliyah Hermeneutika
Dosen
Pengampu : Kurdi Msi
Disusun
Oleh
Khaerul
Abidin NIM 2031110008
Jurusan
Ushuluddin
Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Pekalongan
2012
Pendahuluan
Hermeneutika tergolong disiplin ilmu baru dalam diskursus ulum
Al-Qur'an. Kehadirannya mengundang kecurigaan dan tanda Tanya di
kalangan para pemikir muslim terutama dari golongan konserfatif.
Tidask jelas alasan dari penolakan ini, namun balutan emosional dan
sentimen yang berlebihan tetrhadap barat ditengarai sebagai salah
satu penyebabnya. Karena hermeneutika lahir dan tumbuh di barat.
Cara kerja hermeneutika tidak jauh berbeda dengan tafsir dalam islam
bahkan sebagian sarjana muslim menyebutnya sebagai sesuatu yang sama
namun dalam balutan baju yang berbeda. Memang antara hermeneutika
dengan tafsir tidak dapat dipersamakan dalam semua hal namun keduanya
memiliki peran yang sama yaitu membantu pembaca memperoleh pemahaman
yang seobyektif mungkin dari teks yang di baca.
Karena melalui pembacaan yang obyektif inilah seorang pembaca dapat
mengetahui pesan yang di sampaikan oleh teks yang dia baca atau
memahami apa yang dikehendaki oleh penggagas/pengarang teks.
Karena belakangan ini kesadaran akan pembacaan yang obyektif terus
menjadi isu santer yang berhembus dikalangan cendekiawan muslim.
Salah satu tokoh muslim yang mengajak pada pembacaan teks secara
obyektif adalash Muhammad Abid al-Jabiri. Melalui karya-karyanya yang
berbicara mengenai Al-Qur'an ide-ide tersebut beliau jabarkan.
HERMENEUTIKA AL-QUR'AN MUAHAMMAD ABID AL-JABIRI
1. Latar Belakang Sosial dan Intelektual Al-Jabiri
Muhammad Abid al-jabiri lahir pada tanggal 27
desember 1953 di Firguig, Maroko tenggara. Ia tumbuh dan berkembang
dalam keluarga yang mendukung partai
Istiqlal, sebuah partai yang memperjuangkan kemerdekaan dan kesatuan
Maroko yang pada waktu itu berada dalam koloni Perancis dan Spanyol.
Ia mengenyam pendidikan secara formal untuk pertama kalinya di
madrasah Hurrah al- Wathaniyyah
sekolah suwasta nasionalis yang didirikasn oleh gerakan kemerdekaan.
Dari tahun 1951-1953 ia belajar di sekolah lanjutan milik pemerintah
di Casablanca setelah Maroko merdeka ia melanjutkan setudinya pada
pendidikan tinggi setingkat diploma pada sekolah tinggi Arab dalam
bidang Ilmu Pengetahuan1.
Sebelum berkelut dalam bidang akademis, Al-jabiri terlihat aktif
dalam percaturan politik Nasional negaranya. Ia bergabung dengan
seorang politikus ulung bernama Mehdi, B Barka, pemimpin partai sayap
kiri partai istiklal yang kemudian mendirikan Union Natinal Des
forces Popularies (UNDP) dan kemudian berubah menjadi Union
Socialeste Des forces Popularizes (USDP) ditengah-tengah padatnya
aktifitas politik yang dijalanya pada tahun 1959 ia memulai setudi di
Filsafat Damaskus, Siriya setahun.kemudian ia masuk di Unifersitas
Rabab yang baru didirikan. Ia dan kawan-kawanya UNDP diceploskan ke
penjara pada bulan juli 1964 atas tuduhan konsfiransi melawan Negara.
Namun pada tahun itu juga ia dikeluarkan dari penjara. Sekeluar dari
penjara ia mengajar di sekolah lanjutan atas dan aktif di bidang
perencanaan dan efaluasi pendidikan. Pada tahun 1967 ia menyelesaikan
ujianya dan selanjutnya mengajar di Universiti of Muhammad V Rabat.
Seluruh pendidikan formalnya di akhiri pada tahun 1970 dengan
menyandang gelar Doktor. Kondisi social politik dunia Arab pada
tahun-tahun dimana Al-jabiri sedang bergulat dengan dinamika
pemikiran intelektual, sedang dalam goncangan oleh berbagai persoalan
yang dimunculakan oleh kaum moderanitas wacana modernitas dipicu oleh
daya tarik dan superioritas barat dalam berbagi bidang kehidupan.
Kekalahan Arab atas Israel semakin mempertegas keraguan mereka untuk
mempertanyakan ulang tentang masa ke emasan kerajaan Islam Arab
klasik. Peroblematika tersebut menjadikan para pemikir Arab
terpolarisasi pada dua sisi extrim dalam menyikapinya. Dan kebanyakan
mereka mengambil sikap Eklektisme yaitu menggabungkan apa yang
kelihatan positif dalam dua bentuk puilihan tersebut.
Al-jabiri termasuk dalam golongan pemikir Arab yang melakukan
eklektisme dalam mensikapi modernitas. Dalam artian, menggabungkan
antar modernitas dan autensitas tradisi yang bersumber dari islam
sehingga ia tidak dimasukan seagai tokoh Reolusioner pemikiran arab.
Namun lebih cocok disebut sebagai pemikir Refornistik.
2. Corak dan Akar Pemikiran Al-Jabiri
Pada awalnya, al-jabiri
adalah seorang pengagum berat pemikiran Karl Marx Setidaknya ada dua
alasan yang melatar belakangi dua hal ini.pertama, karena
pemikiran-pemikiran Marxisme sedang tumbuh dengan suburnya di Arab.
Dan kedua adalah karena afiliasi politik al-jabiri terhadap politik
yang memiliki semangat radikal. Kekaguman al-jabiri terhadap
pemikiran Karl Marx bisa juga di sebabkan oleh akses bacaan terhadap
karya-karya berbahasa perancis.
Namun, kekaguman al-jabiri terhadap Karl Marx
berangsur hilang setelah ia membaca karya Yves Ia Coste tentang Ibnu
Khaldun. Hal ini terjadi pada tahun 60an ketika di Perancis Yves Ia
Coste menulis tentang Ibnu Khaldun sebagai reaksi terhadap Markisme,
paling tidak terhadap konsep materialisme historis Karl Marx. Mulai
saat itu intensitas membacanya terhadap pemikiran Ibnu Khaldun
menjadi semakain tinggi. Ia membanding-bandingkan evektifitas
terhadap kajian sejarah keislaman melalui perspektif Marxian dengan
Khaldunian. Yang kemudian di teruskannya dengan menulis Al-Ashabia Wa
Al-Daulah Haula Fiker Ibn khaldun2.
Turats adalah produk material dan pemikiran yang
ditinggalkan oleh generasi terdahulu kepada generasi sesudahnya.
Tradisi dipahami sebagai hasil ciptaan manusia dan produk kreativitas
sadar manusia dalam episode sejarah silih berganti. Modernitas adalah
inteaksi manusia dengan produk material dan pemikiran kotemporer yang
dicapai manusia.3
Turats di kalangan pemikir Arab selalu di sandingkan dengan Hadatsah
(modernitas) karena problem antara Turats dan Hadatsah inilah yang
mendominasi wacana pemikiran Arab kontemporer. Sebagai pemikir yang
berkecimpung dalam tradisi, tak mengherankan jika al-jabiri begitu
berkepentingan untuk meneusuri akar tradisi yang membentuk akar nalar
arab. Turats kemudian menjadi gerbang bagi al-jabiri untuk memasuki
pemikiran Arab.
Menurut Al-Jabiri Turats bukanlah sisa-sisa atau warisan kebudayaan
atau peninggalan masa lampau, tetapi adalah penyempunaan akan
kesatuan dan ruang lingkup kultur yang terdiri atas doktrin agama
atau syari'ah, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, kerinduan dan
harapan. Turats dengan demikian berdiri sebagai satu kesatuan dalam
seluuh kebudayaan islam.
Al-Jabiri memandang bahwa tawaran antara turats
dan hadatsah bukanlah soal pilihan. Baginya
tradisi dan medernitas datang begitu saja dihadapan kita tanpa ada
kuasa bagi kita untuk memilihnya. Kita tidak pernah disuruh untuk
memilih salah satunya ataupun meninggalkan kedua-duanya. Maka bagi
Al-Jabiri yang terpenting adalah bersikap kritis terhadap keduanya
.
3. Tentang al-Qur'an dan Pembacaan Teks
A . Redifinisi al-Qur'an
Secara etimologis banyak ragam definisi diajukan
untuk menyibak makna kata al-Qur'an. Ada yang menyatakan
bahwa kata القراءن merupakan
makna yang ghairu mahmuz (kata yang tidak terdapat huuf hamzah dalam
huruf-huruf pembentuknya), yakni القراءن
yang secara otomatis menafiakn bahwa ia
berasal dari kata القراءة .
Sebaliknya ada pula yang menyatakan bahwa kata القراءن
tersebut memang kata yang mahmuz dimana
lafadz tersebut disifatkan pada kat فعلا
ن dan musytaq dari kata القرء
dengan makna mengumpulkan.
Menurut Al-Jabiri, penakwilan-penakwilan tersebut
jauh dari makna dzahir kalimah sebagaimana disebutkan dalam
kitab-kitab bahsa, bahwa al-Qur'an secara bahasa berasal
dariيقراء-قراءة-وقراء
نا-قراء
Pendapat inilah yang oleh Al-Jabiri
dianggap sesuai dengan ayat yang pertama kali diturunkanاقراء
باسم ربك dengan Nabi sebagai
mukhatabnya dan kemudian dijawab dengan
ماذاقراء Pendapat
ini disandarkan pada ayat Qs. Al-Qiyamah(75):16-19. I'tibar yang
dieoeroleh dari ayat tersebut adalah bahwa kata "al-Qur'an"
merupakan padanan kata القراءة dan
القلاوت4
.
Dalam memberikan definisi al-Qur'an, Al-Jabiri mencobaberada pada
posisi netral yang tidak bertendensi pada salah satu dai
definisi-definisi yang telah ada, karena dalam pandangan Al-Jabiri
setiap defiisi tersebut memuat tujuan-tujuan yang bersifat ideologis,
dari madzab tertentu dan terselubung fanatisme kelompok. Agar tidak
terjebak pada rutinitas dogmatis, lanjut Al-Jabiri, pada dasrnya
al-Qur'an telah memberikan sebuah definisi secara holistic mengenai
dirinya sendiri. Definisi tersebut setidaknya, telah tertuang dalam
Qs. Al-Syu'ara (26):192-196.
Definisi yang terungkap dari ayat-ayat tersebut
setidaknya termuat dalam dua proposisi; proposisi histories yang
ditunjukan oleh ayat 194(بلسان عربي
مبين ) dan proposisi azaliyah, a
histories, yang ditunjukan pada ayat terakhir 196 ( الاولين
وانه لفي زبر ) . Al-zubur dalam
ayat tersebut adalah الكتاب ,
yakni kitab-kitab samawi terdahulu. Diantara kedua ayat tersebut
nampak adanya sentuhan sisi eksternal al-Qur'an dengan ruang dan
waktu. Adapun yang terungkap dari ketiga ayat ebelumnya dapat
dimengerti sebagai berikut: تنزيل من
ربالعالمين menunjukan a-Qur'an
adalah teks ilahiyah, نزل به روح
الامبن menunjukan eksitensi malaikat
Jibrilsebagai pembawa al-Qur'an dari sisi Allah kedalam sanubari
Muhammad, sebagai rasul menyampaian risalah dengan menggunakan bahasa
Arab.
Jadi yang dimakssud dengan al-Qur'an adlah wahyu
dai Allah yang dibawa malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan
menggunakan bahasa Arab, termasuk dalam jenis wahyu yang termaktub
dalam kitab-kitab rasul terdahulu. Dai defines ini setidaknya
terdapat tiga sisi penambhan ; pertama bahwa (esensi) al-Qu'an
bukanlah hal yang sama sekali baru, melainkan kontinuitas Tuhan
kepada manusia . Kedua penyampaian wahyu tersebut merupakan peristiwa
ruhani. Dan ketiga al-Qur'an merupakan risalah yang menjadikan
pembawanya yang menjelaskan kepada manusia atas yang haq dan yang
batil5.
B . Pembacaan Teks
Fenomena Bahasa al-Qur'an
Bagi Al-Jabiri, bahasa bukan hanya sebagai alat berfikir tetapi
lebih dari itu, dai bahasalah pemikiran terbentuk. Bahasa tidak hanya
membatasi pandangan manusia tentang alam tetapi juga telah menjadi
pembatas dan mbentuk garis-garis lengkap bagi setiap pengetahuan
manusia.
Sebuah system bahsa (bukan hanya sisitem kosokata tetapi juga system
gramatikal dan semantiknya) punya pengaruh yang signifikan dalam cara
pandang penuturnya terhadap dunia, termasuk cara menafsirkan dan
menguraikannya, yang pada gilirannya juga mempengaruhi car dan
berfikir mereka.
Wajar jika al-Qur'an disebut "kitab al-arabi al-mubin"
dimana bagian-bagiannya menggunakna bahasa Arab. Karena tidak mungkin
al-Qur'an diturunkan selain bahasa Arab yang tidak dipahami oleh
pemikiran Arab. Bukankah al-Qur'an dikodifikasikan dan diperkenalkan
system gramatikalnya pada masa tadwin, masa mulai diperkenalkan
metodologi berfikir Islam pada saat itu. Ini menunjukan bahwa bahasa
mengalami perkembangan, perkembangan yang tanpa sadar memberikan
makna baru bagi al-Qur'an, Sehingga sudah menjadi kewajiban untuk
mengetahui realitas social cultural pada saat itu untuk mendapatkan
makna hakiki dari teks al-Qur'an itu sendiri.
Jika dijabarkan lebih luas lagi, teks dapat disebut sebagai fiksasi
atau pelembagaan sebuah peristiw wacana lisan tukar pendapat atau
pemikiran. Atau dalam bahasa Al-Jabiri disebut dengan maqul al-kitab
wa maqru qari. Yakni pesan yang disampaikan penulis dalam teksnya dan
makna pesan yang diterima oleh pembacanya. Artinya teks adalah
perubahan berkehendak dari oral menuju tulis karena ingin
mendokumentasikan sebagai upaya transformasi dari deversitas menuju
kesatuan, dari perbedaan menuju kesepakatan. Jadi teks bukanlah
dokumenyang lenih dekat kepada tumpukan atau catatan kuno, tetapi
adalah realitas hidup dalam kehendak diam dan akan bangkit melalui
pembacaan sehingga hidup kembali dalam bentuk yang baru.
Al-Jabiri mengajarkan sebagai mana teks yang
benar dan obyektif, hingga ia mewanti-wanti dwngan "harus
menghindari membaca makna sebelum kata-kata" karena kata-kata
dipahami sebagai unsure dalam jaringan relasi-relasi dan bukan
sebagai himpunan kosokata yang berdiri sendiridari makna semantiknya.
Karena itu pembacaan itu harus membebaskandari asumsi-asumsi apriori
terhadap teks dan juga dari keinginan-keinginan masa kini. Dalam
memca teks yang harus difokuskan adalah menimba makna teks dari teks
itu sendiri, yakni dalam setrukturnya sebagai jaringan yang terbentuk
diantara unsur-unsurnya6.
Tawaran Metodologis
Al-Jabiri menawarkan pembacaan yang obyektif dan rasional terhadap
teks disertai dengan ungkapan "menjadikan bacaan kontemporer
untuk dirinya dan kontemporer untuk kita. Dari unkapan tersebut
terkandung dua konsep pembaca, yakni konsep al-fashl demi menjawab
objektitas dan al washl yang digunakan untuk mengatasi problem
rasiaonalitas.
4. Menjadikan al-Qur'an Kontemporer Sepanjang Masa
Al-Qur'an merupakan kitab yang tidak bisa dipahami dengan cara
sebagaiman membaca surat kabar atau novel. Al-Qur'an adalah kitab
yang kaya akan muatan sejarah. OLeh karena itu untuk berinteraksi
dengan al-Qur'an, seseorang membutuhkan pengetahuan tentang
historisitas tradisi budaya keilmuan arab-islam.
Pembacaan obyektif dan
rasioal yang telah ditawarkan Al-Jabiri sebelumnya dalam ranah
pembacaan terhadap teks pun pada akhirnya tetap dipegang teguh ketika
dihadapkan pada al-Qur'an. Bagi Al-jabiri, dikarenakan al-Qur'an
menyeru kepada manusia disetiap zaman dan tempat sehingga diperlukan
pembaharuan dalm memahami al-Qur'an disetiap masa. Namun erangkat
dari pernyataan tersebut, Al-Jabiri tidak serta merta menawarkan
langkah-langkah metodis dalam pemahaman al-Qur'an. Yang terpenting
baginya adalah bagaimana menjadikan al-Qur'an kontemporer pada
zamannya dan sekaligus kontemporer untuk kita dalam kondisi
kekiniannya. Konsep al-fashl dan al-washl tetap dipakai demi
pembacaan al-Qur'an yang obyektif dan raional, namun dalam bingkai
yang khusus kaena al-Qur'an "bukan dari turats"7.
Penutup
Makna al-Qur'an menurut Al-Jabiri adalah wahyu dari Allah, yang
dibawa Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahsa
Arab, termasuk dalam jenis wahyu termaktub dalamkitab rasul
terdahulu. Al-Qur'an memiliki dua sisi, histories dan a histories.
Historitas al-Qur'an dilihat dari – salah satunya – bahasa yang
digunakan, yaitu bahasa Arab. Dengan demikian keterpengaruhan budaya
dalam bahasa yang digunakan al-Qur'an adlah sesuatu yang tidak dapat
dinafikan.
Al-Jabiri menyarankan kepada pembacaan yang obyektif melalui
pembacaan kata sebelum makna. Dalam hal ini kepentingan idiologis
pembaca harus diletakan ketika berhadapan dengan bacaan. Al-Jabiri
menyadari bahwa pembacaan yang berorientasi pada obyektifitas semata
akan tidak memberikan kontribusi bagi kekinian pembaca. Karenanya
agar teks selalulu dinamis dan kontemperer bagi pembaca, rasionalitas
diberikan ruang geraknya.
DAFTAR PUSTAKA
Kurdi
,dkk. HERMENEUTIKA
AL-QUR'AN DAN HADITS , Yogyakarta :
eLSAQ Press, 2010
Dr. Ir. M. Shahrur. Prinsip
dan Dasar Hermeneutika al-Qur'an Kotemporer,
Yogyakarta : eLSAQ Press, 2008
3
Dr. Ir. M. Shahrur. Prinsip
dan Dasar Hermeneutika al-Qur'an Kotemporer,
Yogyakarta : eLSAQ Press, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar