BAB I
PENDAHULUAN
Keadaan umat
Islam Indonesia saat ini, sudah tentu, erat kaitannya dengan masa lampaunya
yang panjang. Sebvagai agama yang muncul dari hijaz di Jazirah Arab, Islam
sampai kepulauan nusantara dapat dilihat kebudayaan orang-orang arab yang
agaknya telah sering dating ke kawasan ini jauh sebelum Nabi Muhammad Saw.
Telah menjadi catatan para ahli bahwa kawasan Nusantara adalah salah satu dari
sedikit daerah yang diIslamkan tanapa didahului penaklukan militer. Metode
pengislaman atas daerah ini ialah perembesan damai (penetration pacifique).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Islam dan
Tradisi di Indonesia
Meskipun Islam
datang dan berkembang di Indonesia lebih dari lima abad, pemahaman dan
penghayatan kita masih cenderung sinkretik; tarik menarik antara nilai-nilai
luhur Islam dengan budaya local.
Meskipun banyak
mendapat kritik dari banyak pihak, Clifford greetz dipandang telah berhasil
mengkategorisasi islam di Indonesia dalam bukunya yang sering dirujuk para
penulis sesudahnya, yaitu The religion of
java.
Kategorisasinya
yang banyak dikritik banyak peneliti sesudahnya adalah priyayi, santri dan
abangan. Kategorisasi tersebut dipandang “keliru” karena patokan
(ugeran) yang digunakan dinilai tidak konsisten. priyayi tidaklah sama
dengan kategori santri dan abangan. Priyayi adalah kelas social yang lawannya adalah
wong cilik atau proletar. Oleh karena itu, baik dalam golongan santri maupun
dalam golongan abangan terdapat priyayi (elite) maupun wong cilik. Kritik
tersebut, antara lain dikemukakan oleh Zaeni Muchtarom dalam karyanya, santri
dan abangan di jawa (1988).
Paling tidak di
Indonesia terdapat dua penelitian yang dilakukan secara mendalam yang
menjelaskan hubungan tradisi lokal dengan Islam. Pertama penelitian yang
dilakukan Clifford Greetz yang hasil penelitiannya pertama kali diterbitkan di
Amerika pada tahun 1960) Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Howard M
federspiel tentang persatuan Islam (PERSIS)
yang diterbitkan di Newyork pada (1970).[1]
Dalam dua karya
tersebut dielaborasi tradisi yang berkembang ketika itu. Clifford Greetz (1964:
16-25), misalnya menggambarkan kepercayaan
masyarakat pada dunia metafisik, seperti kepercayaan masyarakat terhadap
memedi, lelembut, dan demit. Di samping itu Ia juga menjelaskan tentang upacara
atau slametan yang berhubungan dengan kelahiran, yaitu tingkeban (upacara yang
dilakukan ketika seorang istri telah hamil tujuh bulan), dalam tradisi orang
sunda, kebiasaan ini disebut nujuh bulan, babaran atau brokokan (upacara
kelahiran itu sendiri); pasaran (upacara yang dilakukan stelah lima hari
melahirkan); dan pitonan (slametan yang dilakukan setelah tujuh bulan lahir).
Di samping itu, masih ada upacara yang boleh dilakukan atau tidak , yaitu
telonan (upacara tiga bulan kehamilan pertama); selapanan (upacara satu bulan
kehamilan pertama) dan taunan (upacara stau tahun setelah melahirkan)(Cliffird
Geertz 1964:38)
Dalam merespon
tradisi yang berkembang
di masyarakat tersebut, secara
umum , umat islam dapat dibedakan menjadi dua :pertama “kaum Tua” dan kedua
“kaum Muda” adalah ulama pendukung perubahan-perubahan radikal dalam pemikiran
dan praktik keagamaan di Nusantara. Sedangkan “kaum Tua” adalah ulama yang
menentang perubahan-perubahan yang dikembangkan oleh “Kaum Muda” dan
mempertahankan system keagamaan di Indonesia yang dinilai telah mapan.
“Kaum Tua”
meyakini kebenaran yang dikemukakan dalam ajaran-ajaran ulama besar zaman
klasik dan zaman pertengahan seperti, Al-Ghazali, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi
dalam bidang teologi, dan iman-iman dari
madzhab-madzhab besar dalam bidang hukum islam tidak berubah. Bagi “Kaum Tua”,
kebenaran tidak perlu dikaji ulang, sebab kebenaran tidak pernah diubah karena
perubahan waktu dan kondisi (Howard M Federspiel, 1996:60). Sedangkan “Kaum
Muda” bersikap sebaliknya, merka menentang keras praktik-praktik tasawuf,
ketaatan terhadap matzhab-matzhab teologi dan hukum islam,”Upacara ritual yang
tidak otoritatif”, dan doa yang dimaksudkan untuk mengantarkan roh yang baru
meninggal dunia (Howard M Federspiel, 1996:60). Begitulah pertentangan ulama
Indonesia dalam dalam merespom tradisi yang berkembang dimasyarakat. Dengan
masih berkembangnya tradisi-tradisi seperti yag telah disebutkan, terutama
dalam praktik keagamaan masyarakat di pedesaan , menunjukan dominasi “Kaum Tua”
masih cukup lestari dan masih cukup kuat.[2]
B.
Islam dan Tantangan
Modernitas
Kata pembangunan dan
modernisasi menjadi kata yang teramat sering dipergunakan dan mengambil tempat
yang tetap dan luas dalam masyarakat kita setelah orde baru muncul mengganti
orde lama. Sebelum tahun 1966, yang dikenal sebagai kurun pemerintahan orde
lama, kata yang sering dipakai dalam seluruh lapisan masyarakat adalah
kata”Revolusi”. Orang jika tidak mengucapkan kata revolusi, kata yang dianggap
kramat itu, seakan-akan tidak atau kurang loyal kepada pemerintah. Orang yang tidak menyebut kata revolusi , selain
merasa kurang mantap, juga khawatir akan dicap sebagai “kontra revolusi”. Pada
masa orde lama, revolusi benar-benar telah menjadi panglima dan jargon politik
yang dipergunakan secara luas dan efektif.
Ø Modernisasi,
Westernisasi dan Penggunaan Unsur-Unsur Budaya Barat
Konsep modernisasi telah dikemukakan oleh
para ahli. Soedjatmoko mendefinisikan modernisasi sebagai “menambah kemampuan
suatu system sosial untuk menanggulangi tantangan-tantangan serta
persoalan-persoalan baru yang dihadapinya, dengan penggunaan secara rasional
dari pada ilmu dan teknologi atas segala sumber kemampuannya. Bwrtolak dari
definisi ini, sebenarnya modernisasi dan pembangunan sebagai suatu proses
selalu terjadi dan ada pada setiap zaman, dan tidak hanya terjadi pada abad
ke-20 Ini. Proses ini dapat dilihat dari sejarah perjalanan bangsa-bangsa di
beberapa belahan dunia ini.
Antara abad ke-2 SM sampai abad ke-2
Sesudah Masehi, kerajaan Romawi menentukan konstelasi dunia. Dalam kurun waktu
ini, banyak kerajaan di sekitar Laut Mediteran, kerajaan-kerajaan di Eropa
Tengah dan Eropa Utara menyesuaikan diri dengan kehidupan ekonomi, politik dan
kebudayaan yang ditentukan oleh kerajaan Romawi.
Dalam perkembangan selanjutnya, antara abad
ke-8 sampai abad ke-13 Masehi, Daulat Islam baik Daulat Abbasiyah di timur yang
berpusat di Baghdad maupun Daulat Ummayah di Barat yang berpusat di Cordoba
(Andalusia/Spanyol) menentukan konstelasi dunia. Dalam abad-abad tersebut,
banyak kerajaan-kerajaan terutama kerajaan kristen di Eropa yang menyesuaikan
diri dengan kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan yang ditentukan oleh
Daulat Islam.
Pada abad ke-20, konstelasi dunia
ditentukan oleh negara-negara besar yangh telah memperoleh kemajuan pesat
dibidang ekonomi. Sebelum perang dunia kedua, negara itu adalah negara-negara
di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Setelah perang dunia kedua,
kekuatan-kekuatan yang menentukan konstelasi negara lebih bervariasi, yaitu
negara-negara yang tergabung dalam Pasaran Besar Eropa, Amerika Serikat, Uni
Soviet dan Jepang. Pengaruh dominan dari Barat inilah agaknya yang membawa
masyarakat indonesia yang kurang kritis telah mengasosiasikan dan bahkan
mengidentikkan pembangunan dan modernisasi dengan westernisasi.
Westernisasi adalah mencontoh dan mengambil
alih cara hidup Barat (orang Amerika
Serikat dan Eropa Barat). Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa proses
westernisasi biasanya diikuti oleh proses sekularisasi. Suatu masyarakat yang
telah terwesternisasi akan menjadi masyarakat yang sekuler dimana
pandangan-pandangan dan aspirasi agama serta moral ditinggalkan dan hanya
mementingkan kehidupan material, duniawi dan kebendaan.
Sekarang apakah yang dimaksud dengan penggunaan
unsur-unsur kebudayaan barat itu? Konsep ini secara mudah dapat diterangkan
dengan mengambil contoh teknologi barat sebagai unsur kebudayaan yang sangat
penting pada zaman modern ini. Secara faktual, banyak negara-negara berkembang
atau negara Dunia Ketiga yang telah “membeli”, mempergunakan dan mengadaptasi
teknologi Barat dalam meningkatkan usaha-usaha pembangunan dan modernisasi
mereka
Ø Sikap Islam Terhadap Modernisasi,
westernisasi dan Penggunaan Unsur-Unsur Budaya Barat.
Pertama, Islam menerima, bahkan mendorong dan mengajarkan
pemeluknya untuk melakukan pembangunan dan modernisasi. Kedua, Islam dapat menerima penggunaan unsur-unsur kebudayaan
barat. Tentu saja unsur-unsur budaya yang selaras dengan nilai-nilai Islam
seperti teknologi yang memang sangat diperlukan tidak saja oleh negara-negara
Islam, tetapi juga oleh negara-negara berkembang lainnya dalam rangka
mempercepat dan memacu laju pembangunan dan modernisasi mereka. Ketiga, Islam tidak menerima atau
menolak westernisasi karena banyak cara hidup dan nilai-nilai Barat yang tidak
cocok dan bertentangan dengan Islam.[3]
C.
Reaksi
Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi
Sekarang ini
dunia dengan perkembangan mutakhir di bidang teknologi komunikasi hamper tidak
memiliki batas yang jelas, satu peristiwa yang terjadi di Eropa atau Amerika
Serikat, secara langsung kita dapat menyaksikannya dirumah kita sendiri di
Indonesia. Sayangnya ,seperti yang telah dielaborasikan dalam pembahasan
mengenai sembangan Islam terhadap peradapan dunia. Umat Islam sekarang ini
berada pada posisi yang sangat menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju
tapi terdapat sebagai user teknologi,
bukan pencipta teknologi; lebih parah lagi,kebanyakan umat Islam banyak yang
terlambat dalam mengikuti perkembangan teknologi tersebut, diantara merka masih
ada yang belum mampu mengoperasikan computer, internet, dan beberapa produk
teknologi lainnya
Karena rendah
dalam penguasaan dan pengembangan sains dan teknologi, umat Islam menjadi
kelompok yang terbelakang. Mereka hampir diidentikkan dengan kebodohan,
kemiskinan, dan tidak berperadaban. Sedangkan di sisi lain umat agama lain
begitu maju dengan berbagai teknologi, dari teknologi pengamatan terhadap luar
angkasa hingga teknologi pertanian atas dasar itulah, terjdi berbagai reaksi
tyerhadap kemajuan pemeluk agama-agama lain. Secara umum, reaksi tersebut dapat
dibedakan menjadi empat, yaitu tradisionalis, modernis, revivalis, dan
transformatif.
1.
Tradisionalis
Pemikiran tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat islam adalah
ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya tuhan yang Maha Tau tentang arti dan hikmah
di balik kemunduran dan keterbelakangan umat Islam. Makhluk, termasuk umat
Islam, tidak tau tentang gambaran besar sekenario tuhan, dari perjalanan
panjang umat manusia. Kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dinilai sebagai
ujian atas keimanan, dan kita tidak tahu malapetaka apa yang terjadi dibalik
kemajuan dan pertumbuhan umat manusia (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an,
1997:11).
Akar teologi pemikiran tradisionalis
bersandar pada aliran Ahl al-sunnah wa
al-Jama’ah, terutama aliran ‘Asy’ariyah, yang juga merujuk kepada aliran
jabariyah mengenai prederteminisme (takdir), yakni bahwa manusia harus menerima
ketentuan dan rencana tuhan yang telah terbentuk sebelumnya. Paham Jabariyah
yang dilanjutkan oleh aliran ‘Asy’ariyah ini, menjelaskan bahwa manusia tidak
memiliki free will unhtuk menciptakan sejarah mereka sendiri. Meskipun manusia
didorong untuk berusaha, akhirnya Tuhan jualah yang menentukan.
Cara berfikir Tradisionalis tidak
hanya terdapat di kalangan muslim pedesaan atau yang diidentikkan dengan NU,
tapi sesungguhnya pemikiran tradisionalis terdapat di berbagai organisasi dan
berbagai tempat. Banyak dianatara mereka yang dalam sector kehidupan
sehari-hari menjalani kehidupan yang sangat modern, dan mengasosiasikan diri
sebagai golongan modernis, namun ketika kembali kepada persoalan teologi dan
kaitannya dengan usaha manusia, merka sesungguhnya lebih layak dikategorikan
sebagai golongan tradisionalis (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:11).
2.
Modernis
Pengertian yang
mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik atau hamper identik
dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola
berpokir dan tata kerja lama yang tidak akliyah (rasional), dan menggantinya
dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliyah (rasional). Jadi sesuatu
dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan
hokum-hukum yang berlaku dalam alam.[4]
Kaum modernis
percaya bahwa keterbelakangan umat Islam lebih banyak disebabkan oleh kesalahan
sikap mental, budaya, atau teologi mereka. Mereka menyerang teologi Sunni
(‘Asy’ariyah) yang dijuluki sebagai teologi fatalistik (Mansour Fakih dalam
Ulumul Qur’an, 1997:11).
Pandanagn kaum modernis merujuk
p-ada pemikiran modernis Mu’tazilah, yang cenderung bersifat antroposentris
dengan doktrinnya yang sangat terkenal, yaitu al-Khamsah. Bagi Mu’tazilah,
manusia dap;at menentukan perbuatannya sendiri. Ia hidup tidak dalam
keterpaksaan (Jabbar).Akar teologi Mu’tazilahdalam bidang af’al al-‘ibad
(perbuatan manusia) adalah Qadariah sebagai anti tesis dari jabariyyah
Di Indonesia,
gerakan rasionalis pernah mempengaruhi Muhammadiyah sebelum perang dunia kedua.
Agenda mereka dalah pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat; dan berlomba
dalam kebaikan. Oleh karena itu mereka juga dikenal sebagai golonagn purfikasi
(Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:11).
3.
Revivalis-fundamentalis
Kecenderungan
umat Islam ketiga dalam menghadapi globalisasi adalah revivalis. Revivalis
menjelaskan factor dalam (internal) dan factor luar (eksternal) sebagai dasar
analisis tentang kemunduran umat Islam.
Bagi revivalis
umat Islam terbelakang, karena mereka justru menggunakan ideology lain atau
“isme” lain sebagai dasar pijakan dari pada menggunakan Al-Qur’an sebagai acuan
dasaar. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa Al-Qur’an pada dasarnya telah
menyediakan petunjuk secara komplit, jelas dan sempurna sebagai dasar
bermasyarakat dan bernegara. Di samping itu mereka juga memandang isme lain
seperti marxisme, kapitakisme dan zionisme sebagai ancaman. Globalisasi dan
kapitalisme bagi mereka merupakan salah satu agenda barat dan konsepo non
Islami yang dipaksakan kepada masyarakat muslim. Mereka menolak kapitalisme dan
globalisasi karena keduanya dinilai berakar pada paham liberalism. Karena
itulah, merka juga disebut kaum fundamentalis, mereka di pinggirkan sebagai
ancaman bagi kapitalisme. (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:12).
4.
Transformative
Gagasan transformative
merupakan alternative dari ketiga respon umat Islam di atas. Mereka penggagas
(transformative) percaya bahwa keterbelakangan umat Islam disebabkan oleh
ketidakadilan system dan struktur ekonomi, politik dan kultur. Ini adalah
proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, polotik tanpa
kekerasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni, serta penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia (human right). Keadilan menjadi prinsip fundamental bagi
penganut transformative. Focus kerja mereka adalah mencari akar teologi,
metodologi, dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi social. (Mansour
Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:13).[5]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sekarang ini
dunia dengan perkembangan mutakhir di bidang teknologi komunikasi hamper tidak
memiliki batas yang jelas, satu peristiwa yang terjadi di Eropa atau Amerika
Serikat, secara langsung kita dapat menyaksikannya dirumah kita sendiri di
Indonesia. Sayangnya ,seperti yang telah dielaborasikan dalam pembahasan
mengenai sembangan Islam terhadap peradapan dunia. Umat Islam sekarang ini
berada pada posisi yang sangat menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju
tapi terdapat sebagai user teknologi,
bukan pencipta teknologi; lebih parah lagi,kebanyakan umat Islam banyak yang
terlambat dalam mengikuti perkembangan teknologi tersebut, diantara merka masih
ada yang belum mampu mengoperasikan computer, internet, dan beberapa produk
teknologi lainnya
DAFTAR
PUSTAKA
Hakim, Atang Abd. &Mubarok,
Jaih.1999.MOTODOLOGI STUDI ISLAM.
Bandung;PT REMAJA ROSDA KARYA.
Madjid,Nurcholis.1998.ISLAM, KEMODERNAN DAN KEINDONESIAAN.Bandung;Penerbit
Mizan.
Madjid, Nurcholis. 1998.ISLAM, KEMODERNAN DAN
KEINDONESIAAN. Bandung;Penerbit Mizan.
[1]
Hakim, Atang Abd. &Mubarok, Jaih.MOTODOLSTUDI ISLAM.(Bandung;PT REMAJA
ROSDA KARYA,1999)hal 120
[2]
Hakim, Atang Abd. &Mubarok, Jaih.MOTODOLSTUDI
ISLAM.(Bandung;PT REMAJA ROSDA KARYA,1999)hal 122
[3]
Ismail, Faisal.ISLAM Transformasi Soaial
dan Kontinuitas Sejarah.(Yogyakarta;Pt Tiara Wacana Yogya.2001) hal 34-40
[4]
Madjid, Nurcholis.ISLAM, KEMODERNAN DAN
KEINDONESIAAN.(Bandung;Penerbit Mizan,1998) hal172
[5] Hakim, Atang Abd. &Mubarok, Jaih.MOTODOLSTUDI
ISLAM.(Bandung;PT REMAJA ROSDA KARYA,1999)hal 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar