Social Icons

Pages

23 Apr 2012

ISLAM DAN TRADISI INDONESIA SEKARANG


BAB I
PENDAHULUAN
Keadaan umat Islam Indonesia saat ini, sudah tentu, erat kaitannya dengan masa lampaunya yang panjang. Sebvagai agama yang muncul dari hijaz di Jazirah Arab, Islam sampai kepulauan nusantara dapat dilihat kebudayaan orang-orang arab yang agaknya telah sering dating ke kawasan ini jauh sebelum Nabi Muhammad Saw. Telah menjadi catatan para ahli bahwa kawasan Nusantara adalah salah satu dari sedikit daerah yang diIslamkan tanapa didahului penaklukan militer. Metode pengislaman atas daerah ini ialah perembesan damai (penetration pacifique).





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam dan Tradisi di Indonesia
Meskipun Islam datang dan berkembang di Indonesia lebih dari lima abad, pemahaman dan penghayatan kita masih cenderung sinkretik; tarik menarik antara nilai-nilai luhur Islam dengan budaya local.
Meskipun banyak mendapat kritik dari banyak pihak, Clifford greetz dipandang telah berhasil mengkategorisasi islam di Indonesia dalam bukunya yang sering dirujuk para penulis sesudahnya, yaitu The religion of  java.
Kategorisasinya yang banyak dikritik banyak peneliti sesudahnya adalah priyayi, santri dan abangan. Kategorisasi tersebut dipandang “keliru” karena patokan (ugeran) yang digunakan dinilai tidak konsisten. priyayi tidaklah sama dengan kategori santri dan abangan. Priyayi adalah kelas social yang lawannya adalah wong cilik atau proletar. Oleh karena itu, baik dalam golongan santri maupun dalam golongan abangan terdapat priyayi (elite) maupun wong cilik. Kritik tersebut, antara lain dikemukakan oleh Zaeni Muchtarom dalam karyanya, santri dan abangan di jawa (1988).
Paling tidak di Indonesia terdapat dua penelitian yang dilakukan secara mendalam yang menjelaskan hubungan tradisi lokal dengan Islam. Pertama penelitian yang dilakukan Clifford Greetz yang hasil penelitiannya pertama kali diterbitkan di Amerika pada tahun 1960) Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Howard M federspiel tentang persatuan Islam (PERSIS)  yang diterbitkan di Newyork pada (1970).[1]
Dalam dua karya tersebut dielaborasi tradisi yang berkembang ketika itu. Clifford Greetz (1964: 16-25), misalnya menggambarkan kepercayaan  masyarakat pada dunia metafisik, seperti kepercayaan masyarakat terhadap memedi, lelembut, dan demit. Di samping itu Ia juga menjelaskan tentang upacara atau slametan yang berhubungan dengan kelahiran, yaitu tingkeban (upacara yang dilakukan ketika seorang istri telah hamil tujuh bulan), dalam tradisi orang sunda, kebiasaan ini disebut nujuh bulan, babaran atau brokokan (upacara kelahiran itu sendiri); pasaran (upacara yang dilakukan stelah lima hari melahirkan); dan pitonan (slametan yang dilakukan setelah tujuh bulan lahir). Di samping itu, masih ada upacara yang boleh dilakukan atau tidak , yaitu telonan (upacara tiga bulan kehamilan pertama); selapanan (upacara satu bulan kehamilan pertama) dan taunan (upacara stau tahun setelah melahirkan)(Cliffird Geertz 1964:38)
Dalam merespon tradisi  yang  berkembang  di  masyarakat tersebut, secara umum , umat islam dapat dibedakan menjadi dua :pertama “kaum Tua” dan kedua “kaum Muda” adalah ulama pendukung perubahan-perubahan radikal dalam pemikiran dan praktik keagamaan di Nusantara. Sedangkan “kaum Tua” adalah ulama yang menentang perubahan-perubahan yang dikembangkan oleh “Kaum Muda” dan mempertahankan system keagamaan di Indonesia yang dinilai telah mapan.
“Kaum Tua” meyakini kebenaran yang dikemukakan dalam ajaran-ajaran ulama besar zaman klasik dan zaman pertengahan seperti, Al-Ghazali, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi dalam bidang  teologi, dan iman-iman dari madzhab-madzhab besar dalam bidang hukum islam tidak berubah. Bagi “Kaum Tua”, kebenaran tidak perlu dikaji ulang, sebab kebenaran tidak pernah diubah karena perubahan waktu dan kondisi (Howard M Federspiel, 1996:60). Sedangkan “Kaum Muda” bersikap sebaliknya, merka menentang keras praktik-praktik tasawuf, ketaatan terhadap matzhab-matzhab teologi dan hukum islam,”Upacara ritual yang tidak otoritatif”, dan doa yang dimaksudkan untuk mengantarkan roh yang baru meninggal dunia (Howard M Federspiel, 1996:60). Begitulah pertentangan ulama Indonesia dalam dalam merespom tradisi yang berkembang dimasyarakat. Dengan masih berkembangnya tradisi-tradisi seperti yag telah disebutkan, terutama dalam praktik keagamaan masyarakat di pedesaan , menunjukan dominasi “Kaum Tua” masih cukup lestari dan masih cukup kuat.[2]

B.     Islam dan Tantangan Modernitas
                  Kata pembangunan dan modernisasi menjadi kata yang teramat sering dipergunakan dan mengambil tempat yang tetap dan luas dalam masyarakat kita setelah orde baru muncul mengganti orde lama. Sebelum tahun 1966, yang dikenal sebagai kurun pemerintahan orde lama, kata yang sering dipakai dalam seluruh lapisan masyarakat adalah kata”Revolusi”. Orang jika tidak mengucapkan kata revolusi, kata yang dianggap kramat itu, seakan-akan tidak atau kurang loyal kepada pemerintah. Orang  yang tidak menyebut kata revolusi , selain merasa kurang mantap, juga khawatir akan dicap sebagai “kontra revolusi”. Pada masa orde lama, revolusi benar-benar telah menjadi panglima dan jargon politik yang dipergunakan secara luas dan efektif.

Ø  Modernisasi, Westernisasi dan Penggunaan Unsur-Unsur Budaya      Barat
     Konsep modernisasi telah dikemukakan oleh para ahli. Soedjatmoko mendefinisikan modernisasi sebagai “menambah kemampuan suatu system sosial untuk menanggulangi tantangan-tantangan serta persoalan-persoalan baru yang dihadapinya, dengan penggunaan secara rasional dari pada ilmu dan teknologi atas segala sumber kemampuannya. Bwrtolak dari definisi ini, sebenarnya modernisasi dan pembangunan sebagai suatu proses selalu terjadi dan ada pada setiap zaman, dan tidak hanya terjadi pada abad ke-20 Ini. Proses ini dapat dilihat dari sejarah perjalanan bangsa-bangsa di beberapa belahan dunia ini.
     Antara abad ke-2 SM sampai abad ke-2 Sesudah Masehi, kerajaan Romawi menentukan konstelasi dunia. Dalam kurun waktu ini, banyak kerajaan di sekitar Laut Mediteran, kerajaan-kerajaan di Eropa Tengah dan Eropa Utara menyesuaikan diri dengan kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan yang ditentukan oleh kerajaan Romawi.
     Dalam perkembangan selanjutnya, antara abad ke-8 sampai abad ke-13 Masehi, Daulat Islam baik Daulat Abbasiyah di timur yang berpusat di Baghdad maupun Daulat Ummayah di Barat yang berpusat di Cordoba (Andalusia/Spanyol) menentukan konstelasi dunia. Dalam abad-abad tersebut, banyak kerajaan-kerajaan terutama kerajaan kristen di Eropa yang menyesuaikan diri dengan kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan yang ditentukan oleh Daulat Islam.
     Pada abad ke-20, konstelasi dunia ditentukan oleh negara-negara besar yangh telah memperoleh kemajuan pesat dibidang ekonomi. Sebelum perang dunia kedua, negara itu adalah negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Setelah perang dunia kedua, kekuatan-kekuatan yang menentukan konstelasi negara lebih bervariasi, yaitu negara-negara yang tergabung dalam Pasaran Besar Eropa, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Jepang. Pengaruh dominan dari Barat inilah agaknya yang membawa masyarakat indonesia yang kurang kritis telah mengasosiasikan dan bahkan mengidentikkan pembangunan dan modernisasi dengan westernisasi.
     Westernisasi adalah mencontoh dan mengambil alih  cara hidup Barat (orang Amerika Serikat dan Eropa Barat). Dalam hubungan ini perlu ditambahkan bahwa proses westernisasi biasanya diikuti oleh proses sekularisasi. Suatu masyarakat yang telah terwesternisasi akan menjadi masyarakat yang sekuler dimana pandangan-pandangan dan aspirasi agama serta moral ditinggalkan dan hanya mementingkan kehidupan material, duniawi dan kebendaan.
     Sekarang apakah yang dimaksud dengan penggunaan unsur-unsur kebudayaan barat itu? Konsep ini secara mudah dapat diterangkan dengan mengambil contoh teknologi barat sebagai unsur kebudayaan yang sangat penting pada zaman modern ini. Secara faktual, banyak negara-negara berkembang atau negara Dunia Ketiga yang telah “membeli”, mempergunakan dan mengadaptasi teknologi Barat dalam meningkatkan usaha-usaha pembangunan dan modernisasi mereka  

Ø Sikap Islam Terhadap Modernisasi, westernisasi dan Penggunaan Unsur-Unsur Budaya Barat.
     Pertama, Islam menerima, bahkan mendorong dan mengajarkan pemeluknya untuk melakukan pembangunan dan modernisasi. Kedua, Islam dapat menerima penggunaan unsur-unsur kebudayaan barat. Tentu saja unsur-unsur budaya yang selaras dengan nilai-nilai Islam seperti teknologi yang memang sangat diperlukan tidak saja oleh negara-negara Islam, tetapi juga oleh negara-negara berkembang lainnya dalam rangka mempercepat dan memacu laju pembangunan dan modernisasi mereka. Ketiga, Islam tidak menerima atau menolak westernisasi karena banyak cara hidup dan nilai-nilai Barat yang tidak cocok dan bertentangan dengan Islam.[3]

C.  Reaksi Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi
Sekarang ini dunia dengan perkembangan mutakhir di bidang teknologi komunikasi hamper tidak memiliki batas yang jelas, satu peristiwa yang terjadi di Eropa atau Amerika Serikat, secara langsung kita dapat menyaksikannya dirumah kita sendiri di Indonesia. Sayangnya ,seperti yang telah dielaborasikan dalam pembahasan mengenai sembangan Islam terhadap peradapan dunia. Umat Islam sekarang ini berada pada posisi yang sangat menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju tapi terdapat sebagai user teknologi, bukan pencipta teknologi; lebih parah lagi,kebanyakan umat Islam banyak yang terlambat dalam mengikuti perkembangan teknologi tersebut, diantara merka masih ada yang belum mampu mengoperasikan computer, internet, dan beberapa produk teknologi lainnya
            Karena rendah dalam penguasaan dan pengembangan sains dan teknologi, umat Islam menjadi kelompok yang terbelakang. Mereka hampir diidentikkan dengan kebodohan, kemiskinan, dan tidak berperadaban. Sedangkan di sisi lain umat agama lain begitu maju dengan berbagai teknologi, dari teknologi pengamatan terhadap luar angkasa hingga teknologi pertanian atas dasar itulah, terjdi berbagai reaksi tyerhadap kemajuan pemeluk agama-agama lain. Secara umum, reaksi tersebut dapat dibedakan menjadi empat, yaitu tradisionalis, modernis, revivalis, dan transformatif.
1.         Tradisionalis
Pemikiran tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat islam adalah ketentuan dan rencana Tuhan. Hanya tuhan yang Maha Tau tentang arti dan hikmah di balik kemunduran dan keterbelakangan umat Islam. Makhluk, termasuk umat Islam, tidak tau tentang gambaran besar sekenario tuhan, dari perjalanan panjang umat manusia. Kemunduran dan keterbelakangan umat Islam dinilai sebagai ujian atas keimanan, dan kita tidak tahu malapetaka apa yang terjadi dibalik kemajuan dan pertumbuhan umat manusia (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:11).
                        Akar teologi pemikiran tradisionalis bersandar pada aliran Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah, terutama aliran ‘Asy’ariyah, yang juga merujuk kepada aliran jabariyah mengenai prederteminisme (takdir), yakni bahwa manusia harus menerima ketentuan dan rencana tuhan yang telah terbentuk sebelumnya. Paham Jabariyah yang dilanjutkan oleh aliran ‘Asy’ariyah ini, menjelaskan bahwa manusia tidak memiliki free will unhtuk menciptakan sejarah mereka sendiri. Meskipun manusia didorong untuk berusaha, akhirnya Tuhan jualah yang menentukan.
                        Cara berfikir Tradisionalis tidak hanya terdapat di kalangan muslim pedesaan atau yang diidentikkan dengan NU, tapi sesungguhnya pemikiran tradisionalis terdapat di berbagai organisasi dan berbagai tempat. Banyak dianatara mereka yang dalam sector kehidupan sehari-hari menjalani kehidupan yang sangat modern, dan mengasosiasikan diri sebagai golongan modernis, namun ketika kembali kepada persoalan teologi dan kaitannya dengan usaha manusia, merka sesungguhnya lebih layak dikategorikan sebagai golongan tradisionalis (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:11).
2.         Modernis
Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik atau hamper identik dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpokir dan tata kerja lama yang tidak akliyah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliyah (rasional). Jadi sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hokum-hukum yang berlaku dalam alam.[4]
Kaum modernis percaya bahwa keterbelakangan umat Islam lebih banyak disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya, atau teologi mereka. Mereka menyerang teologi Sunni (‘Asy’ariyah) yang dijuluki sebagai teologi fatalistik (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:11).
Pandanagn kaum modernis merujuk p-ada pemikiran modernis Mu’tazilah, yang cenderung bersifat antroposentris dengan doktrinnya yang sangat terkenal, yaitu al-Khamsah. Bagi Mu’tazilah, manusia dap;at menentukan perbuatannya sendiri. Ia hidup tidak dalam keterpaksaan (Jabbar).Akar teologi Mu’tazilahdalam bidang af’al al-‘ibad (perbuatan manusia) adalah Qadariah sebagai anti tesis dari jabariyyah
Di Indonesia, gerakan rasionalis pernah mempengaruhi Muhammadiyah sebelum perang dunia kedua. Agenda mereka dalah pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat; dan berlomba dalam kebaikan. Oleh karena itu mereka juga dikenal sebagai golonagn purfikasi (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:11).
3.         Revivalis-fundamentalis
Kecenderungan umat Islam ketiga dalam menghadapi globalisasi adalah revivalis. Revivalis menjelaskan factor dalam (internal) dan factor luar (eksternal) sebagai dasar analisis tentang kemunduran umat Islam.
Bagi revivalis umat Islam terbelakang, karena mereka justru menggunakan ideology lain atau “isme” lain sebagai dasar pijakan dari pada menggunakan Al-Qur’an sebagai acuan dasaar. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa Al-Qur’an pada dasarnya telah menyediakan petunjuk secara komplit, jelas dan sempurna sebagai dasar bermasyarakat dan bernegara. Di samping itu mereka juga memandang isme lain seperti marxisme, kapitakisme dan zionisme sebagai ancaman. Globalisasi dan kapitalisme bagi mereka merupakan salah satu agenda barat dan konsepo non Islami yang dipaksakan kepada masyarakat muslim. Mereka menolak kapitalisme dan globalisasi karena keduanya dinilai berakar pada paham liberalism. Karena itulah, merka juga disebut kaum fundamentalis, mereka di pinggirkan sebagai ancaman bagi kapitalisme. (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:12).

4.      Transformative
Gagasan transformative merupakan alternative dari ketiga respon umat Islam di atas. Mereka penggagas (transformative) percaya bahwa keterbelakangan umat Islam disebabkan oleh ketidakadilan system dan struktur ekonomi, politik dan kultur. Ini adalah proses panjang penciptaan ekonomi yang tidak eksploitatif, polotik tanpa kekerasan, kultur tanpa dominasi dan hegemoni, serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (human right). Keadilan menjadi prinsip fundamental bagi penganut transformative. Focus kerja mereka adalah mencari akar teologi, metodologi, dan aksi yang memungkinkan terjadinya transformasi social. (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997:13).[5]












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sekarang ini dunia dengan perkembangan mutakhir di bidang teknologi komunikasi hamper tidak memiliki batas yang jelas, satu peristiwa yang terjadi di Eropa atau Amerika Serikat, secara langsung kita dapat menyaksikannya dirumah kita sendiri di Indonesia. Sayangnya ,seperti yang telah dielaborasikan dalam pembahasan mengenai sembangan Islam terhadap peradapan dunia. Umat Islam sekarang ini berada pada posisi yang sangat menghawatirkan. Diantara mereka, ada yang cukup maju tapi terdapat sebagai user teknologi, bukan pencipta teknologi; lebih parah lagi,kebanyakan umat Islam banyak yang terlambat dalam mengikuti perkembangan teknologi tersebut, diantara merka masih ada yang belum mampu mengoperasikan computer, internet, dan beberapa produk teknologi lainnya











                                                                                                                     
DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Atang Abd. &Mubarok, Jaih.1999.MOTODOLOGI STUDI ISLAM. Bandung;PT REMAJA ROSDA KARYA.

Madjid,Nurcholis.1998.ISLAM, KEMODERNAN DAN KEINDONESIAAN.Bandung;Penerbit Mizan.

Madjid, Nurcholis. 1998.ISLAM, KEMODERNAN DAN KEINDONESIAAN. Bandung;Penerbit Mizan.



[1] Hakim, Atang Abd. &Mubarok, Jaih.MOTODOLSTUDI ISLAM.(Bandung;PT REMAJA ROSDA KARYA,1999)hal 120
[2] Hakim, Atang Abd. &Mubarok, Jaih.MOTODOLSTUDI ISLAM.(Bandung;PT REMAJA ROSDA KARYA,1999)hal 122
[3] Ismail, Faisal.ISLAM Transformasi Soaial dan Kontinuitas Sejarah.(Yogyakarta;Pt Tiara Wacana Yogya.2001) hal 34-40
[4] Madjid, Nurcholis.ISLAM, KEMODERNAN DAN KEINDONESIAAN.(Bandung;Penerbit Mizan,1998) hal172
[5] Hakim, Atang Abd. &Mubarok, Jaih.MOTODOLSTUDI ISLAM.(Bandung;PT REMAJA ROSDA KARYA,1999)hal 120

Tidak ada komentar: