Social Icons

Pages

9 Des 2011

MAKALAH BERBAGAI PANDANGAN TENTANG UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS NORMA DALAM ETIKA


MAKALAH
BERBAGAI PANDANGAN TENTANG UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS NORMA DALAM ETIKA


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Dosen Pengampu                         : M. Ghufron Dimyati M.SI
Mata Kuliah            : Ilmu Akhlak
Kelas       : F
Kelompok                 : 10 (sepuluh)



               











Disusun oleh :

1. Nila Naeli Rohmah         (2021 111 271)
2. Mayda Ar Rohmah        (2021 111 272)
3. Mareta Sofiana              (2021 111 273)
4. Muhammad Faiqi          (2021 111 274)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2011/2012
PENDAHULUAN
          
Manusia adalah makhuk sosial, dalam kehidupan sosial perlu ada tatanan. Adanya tatanan dalam kehidupan manusia menempati posisi yang sangat penting. Ketentuan-ketentuan dalam ilmu akhlak seharusnya dapat membimbing dan mengarahkan perilaku manusia dimana dan kapanpun ia berada. Penilaian tentang baik dan buruknya suatu perbuatan tidak tergantung pada manusia, tetapi perbuatan manusialah yang harus menyesuaikan dengan ketentuan yang sudah digariskan itu.
Oleh karena itu tidak berebihan apabila dikatakan bahawa ilmu akhlak, kemudian diamalkan menjadi akhlak al-karimah merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan kejayaan dan kebahagiaan suatu masyarakat dan bangsa. Artinya suatu bangsa akan jaya dan bahagia apabila para warga dan pemimpinnya mengikuti dan melaksanakan ketentuan yang ada dalam ilmu akhlak yang sebaik-baiknya, sehingga mereka akan dapat memiliki akhlak yang mulia.
Menyadari pentingnya penerapan lmu akhlak dalam pembetukan kepribadian manusia, maka tidak mengherankan apabila mata pelajaran akhlak ditetapkan sebagai salah satu mata pelajaran yang harus diberikan kepada setiap jenjang pendidikan. Dan makalah ini akan membahas salah satu materi dalam ilmu akhlak, agar diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.     










PEMBAHASAN

1.Norma Moral

Norma moral adalah norma tertinggi, yang tidak bisa di taklukan pada norma lain. Sebaliknya, norma moral menilai norma-norma yang lain. Seandainya ada norma etiket yang tidak bersifat etis, karena misalnya didasarkan atas diskriminasi terhadap wanita, maka norma itu harus kalah terhadap norma moral. Demikian halnya juga dengan norma hukum. Jika ada undang-undang yang dianggap tidak etis, maka undang-undang itu harus dihapus, atau diubah. Dan sepanjang sejarah hal itu sudah sering terjadi.
Seperti norma-norma yang lain juga, norma moral pun dirumuskan dalam bentuk positif atau negative. Dalam bentuk positif  norma moral tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya: kita harus menghormati kehidupan manusia, kita harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk negative norma moral tampak sebagai larangan yang menyatakan apa yang tidak boleh dilakukan, misalnya: jangan membunuh, jangan berbohong, dan lain sebagainya.[1]
Norma moral bersifat kategoris atau tidak bersyarat, tidak dimaksudkan sebagai aturan yang bersyarat, melainkan bersifat mutlak. Sifatnya yang tidak bersyarat itu jelas terasa dalam perkataan ”wajib”. Kita terikat untuk melakukan kewajiban, tetapi justru kalau kita mengerjakan, kita akan merasa ringan, karena setelah itu merasa “tidak mempunyai beban” apapun.[2]
Dan perintah tidak bersyarat, tidak berasal dari pengalaman. Perintah kesusilaan berasal dari kenyataan yang transenden. Disini terdapat kecenderungan  yang bersifat “deontis” yang menekankan pada aspek keharusan. Tetapi norma susila atau moral bertujuan untuk membentuk manusia yang utuh, atau mengembalikan harkat kemanusiaan yang sebenarnya. jadi apabila orang taat dengan norma moral, ada kemungkinan akibat yang didapatkan justru bukan merupakan akibat yang dihadapkan sebagai konsekuensi dari perbuatan. Taat kepada norma moral, bisa berarti selamat, tetapi selamat tidak selalu berarti dengan bermanfaat.[3]
Ada baiknya, kita menyimak kritik dari kaum positivis bahwa pada umumnya “kesalahan” yang dilakukan adalah menganjurkan suatu perbuatan susila dengan menunjukan akibat-akibat langsung yang menyenangkan dan memberikan kesukaan.
Sehingga menimbulkan suatu kritik bahwa kebanyakan norma moral, perintah berbuat susila, ungkapan susila sebagai norma, perintah dan ungkapan yang emosional saja. Kritik ini dimulai dengan menunjukan dua kalimat kognitif, yaitu:
a.       kalimat kognitif analitikyang kebenarannya terkandung dalam istilahnya.
Contohnya : “segi empat mempunyai empat sisi”.
b.      kalimat kognitif yang sintetik, kebenarannya terkandung dalam realitas
Contohnya : “Diluar ruang ini hujan turun”.[4]

2. Universalitas Norma Moral

Norma moral bersifat universal, artinya harus selalu berlaku dan dimana-mana.  Mustahillah norma moral yang berlaku di satu tempat tapi tidak berlaku di tempat lain. Hal itu memang dapat terjadi dengan norma hukum (yang didasarkan pada undang-undang yang berbeda), tapi tidak mungkin terjadi dengan norma moral. Bisa saja bahwa satu negara mengenal undang-undang yang melindungi rahasia bank, sedang negara lain tidak punya. Tapi sulit untuk dibayangkan bahwa norma kejujuran berlaku di tempat tertentu saja tetapi tidak berlaku di tempat lain.[5]
Suatu aliran dalam pemikiran yang menolak adanya norma universal adalah “etika situasi”. Menurut para pengikutnya, tidak mungkin ada norma-norma moral yang berlaku umum, sebab setiap situasi berbeda. Perilaku manusia selalu berlangsung dalam situasi konkret. Tidak ada situasi yang persis sama. Karena itu hanya situasilah yang menetukan apakah suatu tindakan  boleh disebut baik atau buruk dari segi moral. Baik buruknya tidak bisa ditentukan secara umum, terlepas dari keadaan konkret.
Dalam bentuk ekstreamnya etika situasi ini tidak bisa dipertahankan. Tapi tidak bisa disangkal juga bahwa di sinipun terkandung unsur kebenaran. Hal ini akan kita selidiki dengan beberapa pertimbangan kritis.
·         Tanpa ragu-ragu akan kita setujui bahwa perbuatan-perbuatan moral tertentu tidak tergantung dari situasi. Misalnya, tindakan terorisme seperti meledakan pesawat terbang, sehingga mengakibatkan korban manusia yang tidak bersalah, tidak pernah dapat dibenarkan. Mungkin kita dapat mengerti motif-motif para teroris. Mungkin mereka memperjuangkan hak-hak territorial mereka yang sah. Tapi tidak pernah dapat kita setujui tindakan itu sendiri. Tentang kasus tadi dan banyak kasus lain yang sejenis semua orang akan sepakat bahwa disini berlaku norma-norma yang universal. Norma-norma itu selalu dan dimana-mana sama. Malah harus dikatakan bahwa tidak ada etika lagi, kalau tidak ada norma umum. Etika situasi dalam bentuk ekstream sebenarnya mengandung kontradiksi. Kalau setiap situasi membutuhkan norma tersendiri, maka namanya bukan norma lagi dan pemikiran kita tentangnya tidak lagi etika. Etika justru mengandaikan adanya norma umum.
·        Tapi jika kita menolak etika situasi yang ekstream, kita harus menolak juga lawannya, yaitu legalisme moral. Dengan legalisme moral dimaksudkan kecenderungan untuk menegakan norma moral secara buta, tanpa memperhatikan sedikit pun situasi yang berbeda-beda. Dalam hal ini mereka tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain. Padahal, faktor-faktor diluar norma moral itu sering kali penting untuk menilai kualitas etis suatu perbuatan. Misalnya, kejujuran merupakan suatu norma moral yang umum. Mencuri barang milik orang lain tidak pernah dapat dibenarkan. Tapi dalam kasus seorang miskin mencuri ayam, tentu penilaian etis kita harus lain daripada bila koruptor kelas kakap menyelewengkan milyaran rupiah. Kita harus mengakui kepada pengikut etika situasi bahwa dalam menerapkan norma moral kita harus mempertimbangkan keadaan konkret.
·        Walaupun dalam penilaian etis situasi harus selalu turut dipertimbangkan, namun kebanyakan masalah di bidang etika tidak disebabkan karena terjadi konflik antara norma dan situasi, dalam arti bahwa situasi merongrong atau memperlemah norma.[6]

Etika situasi dalam bentuk ekstream tidak tahan uji. Bahkan seperti sudah kita lihat, etika situasi sebenarnya menyangkal adanya norma dan pada akhirnya menghancurkan etika. Etika selalu menuju ke suatu posisi umum. Etika mencari yang mengikat kita semua sebagai manusia. Justru karena itu kita bisa berdiskusi tentang masalah-masalah etis dan dan mengkritik perilaku moral orang lain. Bagi para penyusun Undang-Undang dasar 1945, misalnya ; kolonialisme merupakan suatu masalah etis, karena penjajahan itu ”tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Karena itu mereka tidak berpendapat bahwa penjajahan harus ditiadakan diwilayah Indonesia saja, melainka bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan “.[7] Tuntunan etis itu mempunyai implikasi universal. Atau jika ada rezim pemerintahan yang didasarkan atas prinsip rasisme, kita protes. Kita tidak mengatakan: “dalam kebudayaan kita hal seperti itu tidak dapat diterima, tapi terserah kalau budaya lain punya pandangan lain”. Sebaliknya, kita yakin bahwa di sini dilanggar suatu norma moral yang berlaku umum. Menerapkan norma itu tidak merupakan urusan pribadi atau lokal saja. Dibidang etis tidak berlaku prinsip “lain ladang lain belalang”. Norma moral mengikat semua manusia.


3. Relativisme Norma Moral
Paul Edward menggolongkan bentuk relativisme dalam 3 macam:
a. Relativisme Kultural
Seringkali dalam perkuliahan, dikemukakan pertanyaan oleh mahasiswa dengan disertai contoh-contoh, misalnya:
“Dikatakan hak berbicara merupakan hak universal, tetapi mengapa di       Indonesia mempunyai aturan berbeda dengan amerika serikat.
“Mengapa sampai terjadi perbedaan antara bunuh diri ditempat lain dengan hara-kiri di jepang”.[8]

Inilah letak dari relativisme kultural, kita melihat perbedaan, tetapi sebelum melangkah lebih jauh yang paling penting melihat kesamaan nilai dasarnya. Dalam contoh pertama diatas kesamaan menghormati salah satu hak asasi manusia. Contoh kedua terletak dalam pengertian bahwa setiap tingkah laku perbuatan kita harus dihadapi dengan tanggung jawab.
Dalam pendapat Sidney Hook, bahwa persoalan semacam ini harus didekati dengan historis dan konkrit, artinya secara historis dan konkrit, budaya Indonesia tidak menerima cara bicara dan mengemukakan pendapat secara terang-terangan atau barangkali negara Indonesia terlalu menganggap resiko menanggung akibat kebebasan bicara baik dari segi politik, ekonomi dan kebudayaan sendiri.[9]

a.       Relativisme Normatif
Kita sering melihat sebagian orang menganggap bahwa jika ada pernyataan norma moral yang sifatnya universal itulah yang memecahkan seluruh persoalan. Kalau ada pernyataan: “saya harus jujur”, maka pernyataan itu harus dipegang secara kaku, dengan mengabaikan pertimbangan lain.
Padahal adanya kasus menunjukan bahwa ternyata memang dibutuhkan norma khusus untuk menangani situasi dan kondisi yang sifatnya khusus pula. Sehingga meskipun di butuhkan prinsip universal, sering prinsip tersebut tidak dapat memecahkan masalah konkrit begitu saja.
Contoh relativisme normative:
·        Sifat jujur, merupakan prinsip yang mutlak, tetapi dalam kehidupan suami istri, kita toh harus “menyembunyikan” sebagian pengalaman masa lamapau demi kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga.
·        Menolong orang, adalah tindakan yang bermoral. Jikalau ada orang yang jatuh di sungai, itu kewajiban saya untuk menolongnya, menurut norma moral umum. Tetapi apabila saya tidak ada di tempat kejadian, atau tidak memiliki alat untuk menolongnya, atau tidak bisa berenang, dan saya memaksa diri untuk menolong maka saya menjadi orang yang paling tolol didunia.
Kita harus menafsirkan norma yang umum sebagai aspirasi yang meliputi dan menjiwai. Dan dalam pelaksanaan nya kita memperhitungakan syarat-syarat pendukung, mempertimbangkan kemampuan dan tergantung dari situasi dan kondisi pelaksanaan.
b.      Relativisme Meta Etika
Semua manusia, kata Sidney hook, lebih sepakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dari pada mengapa hal-hal tersebut baik dan mengapa buruk. Semua orang mengakui bahwa kesehatan baik, penyakit buruk, keadilan baik, ketidakadilan buruk, dan sebagainya.
Semua nilai dasar tersebut tersebut begitu dituangkan dalam norma, akhirnya pertanyaan “mengapa” semua itu baik dan buruk akan mendapatkan jawaban yang berbeda. Barangkali benar apa yang disinyalir oleh Kurt Baier, tentang adanya titik pangkal moral. Kenyataan bahwa kita sering tidak mencapai kesepakatan pendapat dalam norma moral hanya menunjukan bahwa kita tidak mampu menepati titik pangkal moral tersebut yang berupa :
1). Apabila semua pihak bebas dari paksaan dan tekanan
2). Tidak mencari keuntungan sendiri
3). Bersedia untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang berlaku umum
4). Mempunyai pengertian teoritik yang yang jelas
5). Mengetahui semua informasi yang bersangkutan dengan masalahnya.[10]

Persoalannya, apabila norma etika diragukan kedudukannya sebagai satu batasan, kesulitan yang timbul memang atas dasar apakah perbuatan manusia dinilai baik buruknya. Sebuah norma etika harus bersifat terbuka, artinya terbuka kepada setiap pembenaran, penyangkalan, maupun terbuka dalam arti tidak mengnggap norma nya sendiri paling benar, dan norma orang lain salah.
Yang patut dicatat bahawa norma moral dan perintah, untuk berbuat susila itu tidak semata-mata bersifat keras, mewajibkan dan mendorong orang secara otoriter sebagai sifatnya. Tetapi harus dilihat dari sikap dan tanggapan manusia terhadap norma atau perintah tersebut. Apabila orang dengan ikhlas , sukarela mengerjakan apa yang diminta atau diperintahkan oleh norma atau berbuat susila, maka hal tersebut akan menjelmakan pengaruh yang memberi kesukaan dan bermanfaat saja. Tetapi kalau manusia mencoba melawan dan mencoba melepaskan dari “kekuasaan” norma moral, maka manusia akan mengenal norma dan perintah untuk berbuat susila tadi sebagai hal-hal yang bersifat keras, otoriter, dan memaksa.[11]











KESIMPULAN

Harus diakui bahwa penilaian bagi tingkah laku manusia meliputi seluruh aspek dan segi kehidupan. Etika mutlak bagi manusia, sejauh manusia ingin mempunyai nilai secara manusiawi, manusia utuh. Disini tidak ada pilihan lain kecuali ia harus selalu mempertahankan dan melaksanakan nilai-nilai moral.
Kekuatan dan sekaligus kesadaran moral merupakan suatu kekuatan yang mendorong manusia, agar di dalam tingkah lakunya selalu ingat akan nilai moral. Etika itu sendiri berarti pula sikap untuk memahami pilihan yang seharusnya diambil diantara sekian banyak pilihan bertingkah laku. Tentunya agar berperilaku baik sesuai norma-norma etika.
Pada akhirnya kita pun melihat persoalan etika tidaklah semata-mata bersifat teoritik murni mengenai gejala moral, karena pada akhirnya ia memang harus menjawab dan merumuskan “bagaimana seharusnya” hidup. Dan persoalan itu tidak sekedar ingin mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk dalam perbuatan, melainkan juga mempersoalkan “bagaimana seharusnya” menjadi baik dan “bagaimana seharusnya” meninggalkan yang buruk.













PENUTUP

Sebagai penutup, kami ingin menekankan bahwa etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanda dilandasi sikap tanggung jawab, sebab etika itu sendiri suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi
Tanggung jawab hanya dapat dituntut apabila ada kebebasan untuk memilih. Apabila kebebasan sudah kita miliki, mampukah kita mempunyai keberanian moral dalam artinya mau menanggung akibat apapun dari perbuatan kita, yang memilih prinsip kesusilaan atas dasar keyakinan kebenaran.




















Daftar Pustaka

1. K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993).
2. Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995).
3. Encyclopedia of Philosophy, vol. III, The Mc. Millan Coy 1967 and The Free    Press, New York.
4. Franz Von Magnis, Etika umum, Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1979.
5. Drijarkara, Pertjikan Filsafat, PT. Pembangunan, Jakarta, 1966
6. Van Peursen, stategi kebudayaan, BPK Gunung Mulia, 1976 Jakarta.
7. Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)























[1] K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 149. 
[2] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995), hlm 131-132.

[3] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995), hlm 131-132.
[4] Lihat Kattsoff, Unsur-unsur Filsafat, Bab. XVI
[5] K.Bertens, Etika, (Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 149. 

[6] Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)
[7] Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
[8] Ahmad Amin, Etika, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 1995)
[9] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995)

[10] Lihat, Encyclopedia of Philosophy.
[11] Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT. Grafindo Persada , 1995)

22 Nov 2011

DEFINISI DAN HUBUNGAN ANTARA HAK, KEWAJIBAN SERTA KEADILAN









DEFINISI DAN HUBUNGAN ANTARA HAK, KEWAJIBAN
SERTA KEADILAN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Dosen Pengampu       : Muhammad Ghufron Dimyati M.S.a
Mata kuliah                 : Ilmu Akhlak
Kelas                           : F
Kelompok                   : 5 (lima)
Disusun Oleh :
1.      Eka Kurnia R                      (2021 111 251)
2.      Mustaqimah                        (2021 111 252)
3.      M. Halim Laksana              (2021 111 253)
4.      Labibah                               (2021 111 254)

SEKOLAH TINGGI AGAMAISLAM NEGERI PEKALONGAN
TAHUN AJARAN 2011/2012



PENDAHULUAN

Hak dan kewajiban merupakan sebagian dari aturan- aturan dasar yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat harus jelas dan bersifat terbuka agar setiap individu sebagai bagian masyarakat mengetahui hal- hal yang harus ia kerjakan dalam hidup bermasyarakat. Hal ini sangat penting agar pergaulan dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik, aman dan damai. Keadaan masyarakat yang demikian akan mendorong setiap anggota masyarakat melaksanakan tugas dan kewajiban yang menjadi tanggun jawabnya dengan sebaik- baiknya. Oleh karena itu, apabila setiap annggota masyarakat marasakan pentingnya keadaan tersebut, maka mereka diharapkan dapat terdorong untuk mengetahui semua kewajiban yang dimilikinya dan kemudian berusaha melaksanakan semua kewajiban tersebut dengan sebaik- baiknya.
















PEMBAHASAN

A. HAK
1.      Pengertian Hak
Hak adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan sesuatu yang dimiliki atau diterima oleh manusia karena sebab- sebab tertentu. Hak dimiliki oleh manusia pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap eksistensi dan martabat manusia sebagai individu maupun kelompok. Oleh karena itu orang yang memiliki hak bisa mengharapkan atau bahkan menuntut orang lain untuk menghormati atau memenuhi hak yang dimilikinya.[1]

2.      Macam- macam Hak
Secara umum para ahli etika membagi hak menjadi tiga kelompok, yaitu hak asasi atau hak kodrat, hak legal dan hak moral.
a.       Hak asasi atau hak kodrat
Hak asasi atau hak kodrat dikenal juga dengan istilah hak fitri, yaitu hak yang dibawa manusia sejak lahir ke dunia. Hak asasi merupakan hak dasar atau hak pokok  yang dimiliki setiap individu sebagai anugerah Tuhan yang menciptakan manusia. Hak ini bersifat sangat mendasar dan sangat pokok bagi hidup dan kehidupan manusia di dunia. Hak yang dapat dimasukkan kedalam kelompok hak asasi antara lain :
1)      Hak hidup
Tiap- tiap manusia mempunyai hak hidup, akan tetapi karena kehidupan manusia itu secara bergaul dan bermasyarakat,  maka sudah seadilnya sesorang mengorbankan jiwanya untuk menjaga hidupnya masyarakat apabila di pandang perlu.[2]
Hidup adalah karunia yang diberikan oleh Allah Tuhan pencipta alam kepada setiap manusia tanpa membedakan  warna kulit. Bangsa dan jenis kelaminnya. Oleh karena itu dengan alasan bagaimanapun seseorang tidak diperbolehkan bunuh diri ataupun menghilangkan nyawa  orang lain. Hidup dan mati pepenuhnya merupakan wewnang  Allah. Hal ini dinyatakan melalui firman-Nya dalam surat Qaf ayat 43 sebagai berikut:
     �   
Artinya :  Sesungguhnya Kami menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada Kami-lah tempat kembali (semua makhluk).
Etika dalam islam tidak hanya menetapkan hak hidup sebagai hak dasar manusia yang harus ditegakkan, tetapi juga menjelaskan tentang kewajiban yang ada pada manusia.[3] Kewajiban tersebut adalah wajib yang berhak supaya menjaga hidupnya dan mempergunakan  sebaik- baiknya untuk kepentingan diri dan masyarakat, dan wajib bagi orang lain untuk menghormati hak ini dan tidak mengganggunya.[4] Dapat dikatakan hak hidup merupakan hak dasar pertama yang ada pada manusia dan dengan adanya kehidupan maka manusia akan mendapatkan hak- hak lainnya.[5]
2)      Kebebasan
Kebebasan mempunyai arti merdeka atau lepas dari penjajahan, perbudakan  dan kurungan. Jadi kebebasan atau kemerdekaan mempunyai arti bahwa manusia bukanlah seorang budak, oleh karenanya ia tidak terikat oleh segala macam ikatan
manusia bebas untuk menerima ataupun menolak sesuatu yang ada dan bahkan manusia bebas untuk taat kepada Allah atau  ingkar kepadaNya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Kahfi ayat 29, sebagai berikut :

         �  
Artinya : Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

Ayat tersebut menyatakan dengan jelas bahwa Allah member kebebasan yang sangat luas kepada manusia untuk menentukan apa yang akan diperbuatnya dalam mengarungi hidup di dunia ini.[6]
3)      Kehormatan diri
Manusia adalah mahluk Allah yang paling sempurna dan paling mulia dimuka bumi, sebagai mahluk yang paling baik bila dibandingkan dengan mahluk lainnya. Sesuai dengan firman-Nya dalam surat At-Tin ayat 4, sebagai berikut:
        
Artinya : ‘Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya’ .

Oleh karena itu kemuliaan atau kehormatan adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak kelahirannya di dunia.kehormatan diri merupakan salah satu hak kodrat atau hak asasi manusia yang tidak bisa dihilangkan oleh siapapun.
Hak lain yang dapat dimasukkan kedalam kelompok hak kodrat diantaranya hak mendapatkan pendidikan, kah untuk berpolitik, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, hak untuk memiliki sesuatu,hak menikmati kekayaan alam dan lain sebagainya.[7]

b.      Hak legal dan hak moral
Karena ada pelbagai macam hak,perlu kita pelajari dulu beberapa jenis hak yang penting. Pertama- tama harus dibedakan antara hak legal dan hak moral. Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Hak legal berasal dari undang- undang, peraturan, hukum atau dokumen legal yang lainnya.[8] Sedang hak moral adalah hak yang hanya berdasar pada ketentuan- ketentuan moral atau berdasar pada adat kebiasaan yang berlaku.
Hal- hal yang dapat dimasukkan kedalam hak legal antara lain: hak memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, keamanan dan lain sebagainya.Sedang hal yang dapat dimasukkan kedalam hak moral antara lain: hak orang tua mendapat kehormatan, hak anak untuk mendapatkan nama baik, hak meminta maaf dan memaafkan, hak untuk mendapatkan kemudahan bagi orang tua, wanita dan anak kecil, dan lain sebagainya.[9]

3.      Pelaksanaan Hak
Hak sebagai sesuatu yang menjadi milik seseorang dalam pelaksanaannya harus dijalankan dengan baik dan tidak boleh ada deskrimunasi antara individu yang satu dengan yang lain. Memang manusia adalah mahluk yang berbeda- beda, akan tetapi perbedaan  ini bukan terletak pada esensi manusianya, tetapi terletak pada kemampuan , kecakapan, pekerjaan, tanggungjawab, dan rizki yang diterimanya. Oleh karena itu perbedaan tidak boleh digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam memberlakukan suatu hak.
Perbedaan- perbedaan tersebut merupakan suatu yang harus menjadi pendorong manusia untuk melakukan kerjasama dengan yang lain dalam rangka mencapai tujuan yang dicita- citakan. Perbedaan ini juga sekaligus sebagai ujian dalam kehidupan dunia, apakah manusia mampu memanfaatkan kelebihan yang dimiliki atau tidak. Hal ini dinyatakan oleh Allah melalui firman-Nya surat Al-An’am ayat 165 sebagai berikut :
                                              ­                                             
Artinya :’Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'.

Perbedaan yang ada pada manusia adalah sunatullah, oleh karenanya dengan perbedaan tersebut manusia diperintahkan untuk bekerja sama dan saling tolong- menolong dengan yang lain dalam kehidupan sehari- hari.[10]
Semua hak dan kewajiban yang ada harus dilaksanakan dengan sungguh- sungguh tanpa dipengaruhi oleh kecakapan, kekayaan dan kedudukan yang dimiliki oles aeseorang. Oleh karena itu siapapun yang melangar hak orang lain, maka ia dihukum sesuai dengan ketentuan yang ada.Oleh karena itu, pelaksnaan hak bukan didasarkan atas suka atau tidak suka,tetapi berdasarkan pada harkat dan martabat manusia sebagai mahluk Allah yang berdasar pada ketentuan perundang- undangan yang berlaku.[11]

B.     KEWAJIBAN
Manusia sebagai mahluk individu dan mahluk social, tidak dapat terlepas dari kewajiban. Apa yang dilakukan seseorang dapat menyebabkan pola pengaruh pola hubungannya dengan mahluk social. Pola hubungannya yang baik antara individu satu dengan yang lain.Karena adanya kewajiban- kewajiban yang harus dipenuhi.[12]
1.      Pengertian Kewajiban
Wajib mempunyai banyak penegrtian, antara lan sebagai berikut: dlihat dari segi ilmu fiqh wajib mempunyai arti pengertian sesuatu yang harus dikerjakan, apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa. Menurut ilmu tauhid, wajib sesuatu yang pasti benar adanya. Sedangkan menurut ilmu ahlak wajib adalah suatu perbuatan yang harus dikerjakan , karena perbuatan itu dianggap baik dan benar.[13] Kewajiban sendiri adalah suatu tindakan yang harus dilakukan oleh setiap manusia dalam memenuhi hubungan sebagai mahluk individu, social, dan Tuhan.[14]

2.      Macam- macam kewajiban
Kewajiban manusia dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu, kewajiban manusia terhadap diri sendiri, kewajiban terhadap sesame mahhluk, dan kewajiban manusia terhadap Tuhan sebagai Dzat yang menciptakannya.
a)      Kewajiban terhadap diri sendiri
Dalam rangka menjaga eksistensi dirinya sebagai mahluk hidup, maka setiap manusia memiliki kewajiban terhadap dirinya sendiri antara lain; makan dan minu, berpakaian, menjaga kebersihan dan kesehatan, tempat tinggal, menuntut ilmi, bekerja dan lain sebagainya.
b)      Kewajiba kepada sesama mahluk
Manusia sebagai mahluk allah yang paling sempurna dan sebagai khalifah di dunia mempunyai tugas utama menjaga kehidupan dunia dengan baik dan kemakmurannya. Dalam rangka melaksanakan tugas itu maka manusia mempunyai beberapa kewajiban yang harus dipenuhi. Diantaranya kewajiban terhadap alam, kewajiban terhadap sesame manusia.
c)      Kewajiban manusia terhadap Allah SWT
Kewajiban terhadap Allah sangat penting agar setiap orang dapat mengetahui semua kewajiban yang harus dilakukan dalam upaya untuk meraih kebahagiaan yang dicita- citakan dalam hidupnya.[15]

3.      Pelaksanaan kewajiban
            Dalam pelaksanaan kewajiban terletak apa yang disebut tanggung jawab. Tanggung jawab berarti sikap atau pendirian yang menyebabkan manusia menetapkan bahwa dia hanya akan menggunakan kemerdekaannya untuk melaksanakan perbuatan yang susila.
            Tanggungjawab berarti mengerti perbuatannya. Dia berhadapan dengan perbuatannya, sebelum berbuat, selama berbuat, dan sesudah berbuat. Dia mengalami diri sebagai subjek yang berbuat dan mengalmi perbuatannya sebagai objek yang dibuat.
            Tanggung jawab adalah kewajiban menanggung bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seorang adalah sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Berani bertanggungjawab berarti bahwa seorang berani menentukan, berani memastikan bahwa perbuatan ini sesuai dengan ketentuan kodrat manusia dan bahwa hanya karena itulah perbuatan itu dilakukan.[16]
C.     KEADILAN
1.      Pengertian Keadilan
Sejalan dengan adanya hak dan kewajiban diatas, maka timbul keadilan. Poedjawijatna mengatakan bahwa kwadilan adalah pengakuan dan terhadap hak yang sah. Sedangkan dalam literature islam, keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada persamaan atau bersikap tengah- tengah atas dua perkara.[17]
Dimana ada hak, maka ada kewaiban, dan dimana ada kewajjiban maka ada keadilan, yaitu menetapkan dan melaksanakan hak sesuai dengan tempat, waktudan kadarnya yang seimbang. Demikian pentingnya masalah keadilan dalam rangka pelaksanaan hak, kewajiban , Allah berfirman Dalam Surat Al Nahl Ayat 90 :
  �     �    �  

Artinya :  Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.




2.      Macam wujud keadilan
Menurut Aristotle- Notonegoro, ada 4 macam wujud keadilan.
a.       Keadilan tukar menukar
Yaitu suatu kebajikan tingkah laku manusia untuk selalu memberikan kepada sesamanya, sesuatu yang menjadi pihak lain atau sesuatu yang sudah semestinya harus diterim oleh pihak lain itu. Dengan adanya keadilan tukar menukar , terjadilah saling member dan saling menerima. Keadilan itu timbul didalam hubungan antar manusia sebagai orang- orang terhadap sesamanya di dalam masyarakat.
b.      Keadilan Distributif atau Membagi
Yaitu suatu kebajikan tingkah laku masyarakat dan alat penguasanya untuk selalu membagikan segala kenikmatan dan beban bersama, dengan cara rata dan merata, sifat menurut keselarasan dan tingkat perbedaan jasmani maupun rohani. Keadilan dalam membagi ini terdapat dalam hubungannya antara masyarakat dengan warganya.
c.       Keadilan Sosial
Yaitu suatu kebajikan tingkah laku manusia di dalam hubungan dengan masyarakat, untuk senantiasa memberikan dan melaksanakan segala sesuatu yang menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama sebagai tujuan akhirat masyarakat atau Negara.
d.      Keadilan Negara
Yaitu mengatur hubungan antara anggota dan kesatuannya untuk bersama-sama selaras dengan kedudukan dan fungsinya untk mencapai kesejahteraan umum.[18]

D.    HUBUNGAN HAK, KEWAJIBAN, DAN KEADILAN

Telah dikemukakan bahwa ahlak adalah perbuatan yang telah dilakukan dengan sengaja, mendarah daging, sebenarnya dan tulus ikhlas karena Allah. Hubungan dengan hak dapat dilihat pada arti dari hak yaitu sebagai milik yang dapat dugunakan oleh seseorang tanpa ada yang dapat menghalanginya.
Ahlak yang mendarah daging itu kemudian menjadi bagia dari kepribadian seseorang yang dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakannya tanpa merasa berat. Dengan  terlaksanakannya hak, kewajiban dan keadilan, maka dengan sendirinya akan mendukung terciptanya perbuatan yang akhlaki. Disinilah letak hubungan fungsional antara hak, kewajiban dan keadilan.[19]



















KESIMPULAN
Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Poendjawijata mengatakan bahwa yang dimaksud hak ialah semacam milik, kepunyaan yang tidak hanya kepunyaan benda saja, melainkan pula tindakan, pikiran, dan hasil pemikiran itu. Sedangkan kewajiban adalah suatu tindakan yang harus dilakukan oleh setiap manusia dalam memenuhi hubungan sebagai mahluk individu, social, dan Tuhan. Dan keadilan merupakan peringkat tertinggi dalam menentukan segala bentuk permasalahan yang ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak. Perintah berlaku adil pun mesti ditegakkan di dalam keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat islam diperintahkan berlaku adil. Maka hanya dengan menerapkan konsep keadilan yang ideal seperti itu, maka umat islam pada khususnya akan terbebas dari belenggu perbudakan kaum imperative modern.
















DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ahmad (1995). Etika. Jakarta : PT. Bulan Bintang
Charis Zubair, Ahmad (1995). Kuliah Etika. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
K. Bertens,(2007). Etika. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Nata, Abbudin (2006). Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Suraji, Imam,(2006). Etika dalam Perspektif Alqur’an dan Al-Hadist. Jakarta: PT. pustaka Al-Husna Baru